TATA KELOLA KEDELAI

Ironi Indonesia, Bangsa Penyuka Tahu Tempe tapi 90% Kedelainya Impor

Indonesia terakhir swasembada kedelai pada 1992.

By | Senin, 21 Februari 2022 12:11 WIB

Perajin tempe (Foto ilustrasi/istimewa).
Perajin tempe (Foto ilustrasi/istimewa).

JAKARTA, BELASTING – Aksi mogok produksi perajin tahu tempe yang dimulai hari ini, Senin, 21 Februari 2022, dan direncanakan berlangsung sampai 23 Februari, memperlihatkan kembali ironi tata kelola pangan nasional.

Tempe adalah makanan khas Indonesia, asli Indonesia, yang berbahan baku kedelai.

Tapi 90% kedelainya impor.




Terutama dari Amerika Serikat, Brasil, Cina, Kanada, Malaysia dan Prancis.

Karena bergantung pada impor, maka pemerintah pun tidak berdaya mengendalikan harga kedelai.

Sebagai pembeli kedelai luar negeri, cuma bisa pasrah dengan harga yang ditetapkan negara pedagang.



“Jadi kedelai ini tergantung sepenuhnya pada produk impor, yang harganya ngga bisa kita kendalikan,” kata Oke Nurwan, Dirjen Perdagangan Kementerian Dalam Negeri, Ahad (20/2/2022).

Saat ini kebutuhan nasional kedelai untuk tahu tempe sekitar 3 juta ton per tahun.

Sedangkan produksi kedelai lokal pada 2021 hanya 240 ribu ton.

Dengan rendahnya produksi kedelai lokal, maka bila masyarakat mau makan tahu tempe, mau tidak mau harus impor.

 

Data impor kedelai 2015-2020.

2020: 2,4 juta ton

2019: 2,6 juta ton

2018: 2,5 juta ton

2017: 2,6 juta ton

2016: 2,2 juta ton

2015: 2,2 juta ton

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

 

Opsi subsidi kedelai

Para perajin tahu tempe yang mogok produksi mulai hari ini menuntut agar harga kedelai bisa diturunkan.

Tapi, mungkinkah bisa mengendalikan harga bila barangnya impor? Jelas tidak mungkin.

Satu-satunya opsi adalah memberikan subsidi.

Ini yang diterapkan misalnya pada produk BBM. Jadi meski pemerintah mengimpor minyak mentah, harga BBM tetap relatif terkendali.

Namun status kedelai belum sekrusial BBM. Jadi tidak ada subsidi atas barang. Harga kedelai dilepas menyesuaikan harga internasional.

Ketua Pusat Koperasi Produsen Tahu Tempe (Puskopti) Jawa Barat, Asep Nudin, ketika mengumumkan rencana mogok produksi perajin tahu tempe pada 14 Februari 2022 lalu, juga menyinggung soal subsidi ini.

Dia mempertanyakan janji pemerintah bahwa akan menyubsidi kedelai impor asal Amerika Serikat (AS) antara Rp2.000 hingga Rp3.000 per kilogram, agar harga kedelai impor bisa lebih murah.

“Tapi sampai kini belum ada realisasinya,” katanya, Senin, 14 Februari 2022.

Mengapa para pedagang tidak menaikkan harga tahu tempe agar tidak rugi?

Sayangnya tidak semudah itu. Mayoritas perajin tahu tempe adalah UMKM, bukan korporasi. Modal pas-pasan.

Kenaikan harga bahan baku kedelai akan menambah beban pengeluaran.

Di sisi lain, menaikkan harga akan membuat penjualan lesu, pelanggan berkurang. Ini karena tahu tempe sudah identik dengan makanan harga murah.

 

Mengapa kedelai terus impor

Mengapa pemerintah tidak menggenjot produksi kedelai dalam negeri? Hingga tidak tergantung impor?

Sebenarnya itu programnya. Tapi realisasinya lain.

Dilansir dari Kompas, pada periode pertama pemerintahan Jokowi-JK, Jokowi pernah menjanjikan swasembada pajale (padi, jagung, kedelai) dalam waktu tiga tahun (Kompas, 7 November 2014).

Tapi kini terbukti target kedelai tidak tercapai, bahkan seakan tidak ada kemajuan.

Mengapa produksi kedelai sangat sedikit. Ada beberapa sebab.

Pertama, lahan pertanian menyusut.

Mantan Menteri Pertanian Suswono misalnya pernah mengatakan bahwa bila hendak kembali era kejayaan swasembda kedelai pada 1992, maka lahan pertanian kedelai harus bisa mencapai 1,6 juta hektar.

Itu rahasia sukses swasembada kedelai pada 1992.

Tapi itu sulit dicapai.

Kementerian Pertanian dalam laporan Outlook Kedelai 2020, menyebutkan terjadi penyusutan lahan panen kedelai dari 493 ribu hektar pada 2018, menjadi 285 ribu hektar pada 2019.

Ini berarti menyusut 43% dalam setahun saja.

Mengapa, karena sawah berubah jadi area properti, perumahan dan sebagainya,

Penyusutan lahan pertanian adalah salah satu masalah hingga sekarang terus terjadi.

Kedua, petani kapok menanam kedelai.

Butuh waktu 4 bulan untuk menanam kedelai hingga panen. Mengutip laporan Dinas Pertanian Probolinggo, Jawa Timur, pada 2019 harga kedelai di tingkat petani rata-rata Rp6.000, dengan hasil panen 1 ton pe hektar,

Setelah empat bulan, kedelai dijual dan mendapat harga Rp6 juta. Dikurangi biaya produksi sekitar 4 juta, maka keuntungan petani hanya Rp2 juta selama 4 bulan, alias Rp500 ribu per bulan.

Ini kalah menguntungkan dibanding tanaman jagung yang nilainya lebih tinggi, dengan masa tanam yang juga relatif sama, 3-4 bulan.

“Petani kita sudah pintar, mereka mau menanam yang benar-benar menguntungkan. Kedelai memang belum bisa menguntungkan secara ekonomi,” kata Handaka, Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian kabupaten Probolinggo, seperti dilansir Antara.

Solusi atas masalah harga ini mau tidak mau adalah keberpihakan pemerintah, misalnya menetapkan HPP (Harga Pokok Penjualan) seperti di komoditas beras.

HPP ditetapkan agar petani merasa komoditas kedelai menguntungkan untuk ditanam, karena ada stabilitas harga. Setelah itu kebijakan impor kedelai pelan-pelan dibatasi, hingga masyarakat beralih ke kedelai lokal.

Ini sebenarnya solusi yang disampaikan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dalam dengar pendapat dengan Komisi IV DPR pada 25 Januari 2022 lalu.

“Saya sudah bicarakan juga kepada Presiden, melalui forum ini juga, kita butuh HPP, kita butuh agar kedelai di-lartas-kan [impor dilarang dan dibatasi --lartas]. Kalau tidak akan sulit head to head dengan keadaan yang ada," katanya.

Menetapkan HPP dan membatasi impor menandakan pemerintah berpihak pada kedelai lokal dan mulai melakuan intervensi tata kelola, tidak melepas ke pasar internasional.

Bila tidak HPP, maka solusinya adalah subsidi atas barang seperti BBM.

Bila HPP tidak, subsidi atas barang juga tidak, berarti kedelai memang dilepaskan ke mekanisme pasar bebas dan dibiarkan untuk bertahan sendiri. (bsf)



KOMENTAR

Silahkan berikan komentar dengan baik

Tulis Komentar Anda :