ANALISIS

Ketika Negara Kalah oleh Perusahaan Minyak Goreng

Keputusan melepas harga ke pasar adalah bentuk kekalahan negara.

By | Kamis, 17 Maret 2022 19:23 WIB

Minyak goreng kemasan di minimarket (Foto ilustrasi/ist).
Minyak goreng kemasan di minimarket (Foto ilustrasi/ist).

JAKARTA, BELASTING – Keputusan pemerintah melepas harga minyak goreng kemasan ke pasar pada Selasa, 15 Maret 2022 lalu, bisa dibilang keputusan bersejarah.

Pasalnya dengan keputusan itu, negara sama saja mengakui telah kalah dari perusahaan minyak goreng.

Di atas kertas, konferensi pers yang diadakan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto pada Selasa, 15 Maret 2022 itu memang hanya menyatakan bahwa negara menaikkan HET minyak goreng curah naik jadi Rp14 ribu, sedangkan untuk minyak goreng kemasan, harga menyesuaikan dengan harga keekonomian.




Namun dari perspektif lain, konferensi pers itu juga pengibaran bendera putih.

Negara mengakui tidak mampu mengendalikan harga minyak goreng kemasan, hingga melepasnya ke mekanisme pasar.

Atau dengan kata lain, negara memutuskan lepas tangan.



Padahal pada Februari 2022 lalu pemerintah dengan gagah menetapkan HET Minyak Goreng Kemasan Premium Rp14 rbu.

Sayang pelaksanaannya di lapangan tidak sukses, minyak goreng tetap langka.

Akhirnya usai Presiden Jokowi pulang dari camping di ibu kota baru, keputusan penting diambil.

Sayang keputusannya justru menyerah.

Mengapa negara kalah?

Ini yang memang tak bisa dimengerti. Pasalnya negara memilik kekuatan dan institusi untuk menegakkan HET.

Kepolisian, kejaksaaan, memiliki sumber daya untuk mengawasi distribusi.

Bahkan Satgas Pangan juga sempat menggerebek penimbunan minyak goreng sebanyak 1,1 juta kilogram di Deli Serdang, Sumatra Utara.

Direktur Eksekutif Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, juga menilai bahwa pemerintah sebenarnya mampu menegakkan HET.

“Bisa tindak tegas penimbunan, macetnya di distributor mana. Jadi kalau DMO dan HET diberlakukan dengan baik, itu sudah bisa diselesaikan,” katanya, Rabu (16/3/2022).

Dia juga mengkritik keputusan pemerintah untuk melepas HET minyak goreng kemasan ke pasar.

“Ini kebijakan fatal, karena yang dirugikan adalah kelas menengah yang saat ini pemulihan daya belinya belum solid, belum kembali ke level sebelum pandemi,” tambahnya.

Dalam catatan Belasting, bila isunya adalah HET merugikan pedagang, maka itu sudah diantisipasi sejak awal oleh pemerintah dengan menyalurkan subsidi.

Sebab, tidak fair juga bagi pengusaha bila mereka dipaksa jual rugi.

Karena itu pemerintah pun menyalurkan subsidi sebesar Rp7,6 triliun ke para perusahaan minyak goreng untuk menjamin pasokan sebanyak 1,2 militer liter selama 6 bulan –-Februari hingga Juli 2022.

Tapi lucunya, meski subsidi disalurkan, ternyata minyak goreng masih langka, dan pemerintah seakan tak berdaya mengatasinya.

Yang juga lucu, setelah HET minyak goreng kemassan dicabut, kini barangnya justru membanjiri supermarket dan minimarket –dengan harga hampir Rp25 ribu per liter.

Melimpahnya stok setelah HET dicabut ini sebenarnya juga tamparan buat pemerintah.

Sebab perusahaan tidak malu-malu lagi menunjukkan kalau selama ini mereka memang menyimpan stok minyak goreng, dan hanya mau melepasnya ketika HET dicabut.

Ini juga menimbulkan pertanyaan tersendiri.

Mengapa pemerintah tidak melakukan penegakan hukum kepada para perusahaan itu ketika HET belum dicabut?

Di sinilah keseriusan pemerintah dipertanyakan.

Pada akhirnya, kekalahan pemerintah dalam pengendalian harga minyak goreng ini akan jadi sebuah preseden.

Bila perusahaan minyak goreng bisa mengalahkan negara, tentu tidak tertutup kemungkinan perusahaan komoditas lain ---batu bara, migas, atau yang lain-- bisa melakukan hal serupa. (bsf)



KOMENTAR

Silahkan berikan komentar dengan baik
Seharusnya SDA dan kebutuhan produk pokok yg menentukan hayat hidup masy luas dikuasai & diatur oleh negara, sebanyaknya digunakan unt kesejahtraan Rakyat.
Suhardana | Rabu, 23 Maret 2022 13:37 WIB

Tulis Komentar Anda :