ANALISIS

Mafia Minyak Goreng, Mengapa Perusahaan Penimbun Tak Dijerat?

Aparat belum menyentuh sisi distribusi dan penimbunan oleh perusahaan.

By | Rabu, 20 April 2022 11:05 WIB

Minyak goreng curah di pasar tradisional makin susah didapat (Foto ilustrasi/istimewa).
Minyak goreng curah di pasar tradisional makin susah didapat (Foto ilustrasi/istimewa).

PENANGKAPAN Dirjen Perdagangan Luar Negeri (Daglu) Kementerian Perdagangan (Kemendag) Indrasari Wisnu Wardhana oleh Kejaksaan Agung pada Selasa (19/4/2022) membawa angin segar dalam pengusutan mafia minyak goreng.

Dalam konferensi pers, Jaksa Agung ST Burhanuddin menjelaskan konstruksi kasus tersebut.

Pada Januari 2022, di tengah kelangkaan minyak goreng di pasar, Kementerian Perdagangan menetapkan kebijakan kewajiban penjualan domestik atau Domestic Market Obligation (DMO) terhadap produk minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO).




Ini karena CPO merupakan bahan baku minyak goreng sawit.

Dalam aturan itu, perusahaan wajib menjual CPO mereka di pasar dalam negeri dengan ketentuan 20% dari total produksi.

Baru setelah kewajiban DMO dipenuhi, perusahaan diperbolehkan mengekspor.



Tujuan kebijakan ini agar pasar dalam negeri tidak mengalami kekurangan bahan baku.

Indrasari dan 3 tersangka lainnya yang merupakan petinggi perusahaan swasta CPO, dijerat karena melanggar aturan itu.

Ketiga petinggi perusahaan CPO itu berkongkalikong dengan Indrasari, hingga perusahaan mereka bisa mendapatkan izin ekspor CPO, meski kewajiban DMO 20% belum dipenuhi.

Indrasari pun dijerat dengan Pasal 2 atau 3 UU UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diperbarui dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), tentang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Ancaman hukumannya minimum 4 tahun dan maksimum 20 tahun.

Selesaikah kasus mafia minyak goreng ini? Tidak juga. Sebab ada sisi yang belum disentuh aparat penegak hukum, yaitu sisi kejahatan distribusi dan penimbunan.

Kejahatan Distribusi dan Penimbunan
KEJAHATAN Indrasari dan tiga pengusaha itu hanya pada sisi ekspor CPO, yang bisa mengurangi bahan baku minyak goreng.

Tapi itu bukan aspek utama.

Aspek utama dari kejahatan mafia minyak goreng bukan pada sisi ekspor CPO, melainkan pada aspek distribusi dan penimbunan.

Sejak pemerintah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng kemasan Rp14 ribu pada Februari 2022, minyak goreng mulai langka di pasar.

Awalnya kelangkaan itu memang diduga karena panic buying masyarakat.

Namun lama-lama, panic buying tidak bisa lagi menjelaskan kelangkaan minyak goreng.

Pasalnya sebulan lebih setelah penetapan HET, yaitu di bulan Maret 2022, kelangkaan terus terjadi. Stok di ritel modern maupun pasar tradisional kosong.

Kemendag pun bingung mengapa minyak goreng tetap langka, karena berdasarkan data dan perhitungan Kemendag, seharusnya pada akhir Maret 2022 justru terjadi “banjir” minyak goreng di pasar.

Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR pada 17 Maret 2022, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menyatakan bahwa berdasarkan data Kemendag, sebanyak 570 juta liter minyak goreng sudah dialirkan ke masyarakat.

Secara teori, sebanyak 570 juta liter minyak goreng itu sebenarnya mampu membuat “banjir” pasar dalam negeri.

Tapi itu teori. Realitasnya, hingga pertengahan Maret 2022, minyak goreng masih langka.

“Spekulasi kami, ada orang yang mengambil kesempatan dalam kesempitan,” katanya kepada anggota Komisi VI DPR.

Lutfi mengatakan penimbunan ini bisa melibatkan industri atau juga kapal.

Ia mencontohkan, satu tongkang kapal dengan mudah bisa mengangkut hingga 1 juta liter minyak goreng.

Penimbunan dengan modus kapal ini sudah di luar kewenangan Kemendag.

“Jadi kalau [kapal] keluar dari pelabuhan rakyat, satu tongkang bisa bawa satu juta liter [minyak goreng], uangnya bisa Rp8-9 miliar. Kemendag tidak bisa melawan penyimpangan tersebut,” katanya.

Meski tidak berwenang mengusut, Lutfi mengatakan berbagai temuan Kemendag tentang dugaan penyimpangan itu sudah dilaporkan ke polisi.

Definisi Penimbunan
SEBENARNYA sejak Februari 2022, sejumlah kasus penimbunan sudah berhasil dibongkar tim Satgas Pangan Polisi.

Salah satu yang terbesar misalnya di kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara (Sumut), di gudang milik 3 perusahaan.

Yaitu di gudang PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (Alfamart), gudang PT Indomarco Prismatama (Indomaret), dan gudang PT Salim Ivomas Pratama Tbk (anak perusahan Indofood).

Stok minyak goreng di total tiga gudang itu mencapai 1,1 juta kilogram, dan didapat ketika minyak goreng masih langka di Sumut.

Dalam catatan Belasting, seusai penggerebekan itu, Kepala Biro Perekonomian Pemprov Sumut, Naslindo, mengatakan bahwa minyak goreng itu memang sengaja ditimbun.

Naslindo mengatakan sudah berkomunikasi langsung dengan manajemen perusahaan itu yang berlokasi di Jakarta, menanyakan stok yang ditimbun di gudang itu.

Hasilnya mereka memang sengaja menimbun.

“Iya sengaja ditimbun. Saya sudah berkomunikasi langsung dengan manajemen mereka di Jakarta, dan mereka memang sengaja menimbun,” kata Naslindo kepada wartawan, Jumat, 18 Februari 2022.

Menurut Naslindo, penimbunan itu dilakukan karena para perusahaan tersebut tidak mau rugi bila menjual minyak goreng dengan harga Rp14.000 per liter sesuai HET pemerintah.

“Meski begitu, saya sudah meminta agar minyak goreng itu segera didistribusikan ke masyarakat yang kini kesulitan mendapatkan minyak goreng,” tambahnya.

Kasus itu kemudian dilimpahkan ke Polda Sumut.

Namun dalam perkembangannya, Polda Sumut menyimpulkan tidak ada penimbunan.

Polda Sumut beralasan bahwa berdasarkan Pasal 11 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting, yang disebut “menimbun” adalah bila pengusaha menyimpan stok minyak goreng sampai 3 bulan melebihi rata-rata angka penjualan per bulan.

Pasal 11 Perpres 71/2015 yang dimaksud berbunyi:

Ayat 1
Dalam hal terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang, Barang Kebutuhan Pokok dan/atau Barang Penting dilarang disimpan di Gudang dalam jumlah dan waktu tertentu.

Ayat 2
Jumlah tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu jumlah diluar batas kewajaran yang melebihi stok atau persediaan barang berjalan, untuk memenuhi pasar dengan waktu paling lama 3 (tiga) bulan, berdasarkan catatan rata-rata penjualan per bulan dalam kondisi norma.

Karena definisi inilah maka penimbunan 1,1 juta minyak goreng di Deli tidak jadi kasus pidana.

Kapolda Sumut, Irjen Pol Panca Putra Simanjuntak mengatakan jumlah minyak goreng di PT Salim Ivomas Pratama sebanyak 92.677 kotak. Sementara kebutuhan perusahaan per bulan selama produksi berjumlah 94.684 kotak.

Berdasarkan konstruksi Perpres 71/2015 itu, karena stok tidak mencapai 3 kali lipat penjualan sebulan, maka bukan penimbunan.

"Kita melihat bahwa perusahaan ini memerlukan distribusi sebanyak 94.000 per bulan rata rata kebutuhannya. Yang kita temukan 92.000. Jadi kalau 94.000 di kali 3 kurang lebih ada 270 ribu, sementara yang kita temukan 92.000 artinya dari aturan tersebut kita tidak menemukan ada dugaan penimbunan," kata Panca, Rabu, 23 Februari 2022.

Namun polisi tetap melakukan proses pidana terhadap penimbun minyak goreng.

Hanya, pelaku adalah pedagang dadakan atau reseller yang menimbun minyak goreng di rumah. Ini misalnya di Lebak, Bengkulu, Serang dan di beberapa kota lainnya.

Sedang untuk pelaku perusahaan yang menyimpan stok di gudang, sejauh penelusuran Belasting, belum ada tersangka.

Keajaiban” Minyak Goreng
TAPI bila pelaku pelaku penimbunan adalah para pedagang dadakan, itu tidak bisa menjelaskan mengapa minyak goreng mendadak berlimpah setelah HET dicabut.

Sebab para pedagang dadakan itu bukanlah supplier ritel-ritel modern.

Inilah yang tejadi setelah pada 16 Maret 2022, Menko Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menggelar konferensi pers yang menyatakan pemerintah mencabut HET minyak goreng kemasan Rp 14 ribu.

Setelah pencabutan itu, dalam hitungan hari, minyak goreng kemasan yang tadinya langka secara ajaib jadi berlimpah di pasar, baik ritel modern maupun pasar tradisional.

Fenomena itu terjadi secara serentak di berbagai provinsi, hingga sulit dipahami pedagang dadakan yang bertanggung jawab atas penimbunan sekaligus suplai mendadak tersebut.

Mendag Lutfi sendiri mengaku heran dengan “keajaiban” itu.

“Saya juga heran, barang ini [minyak goreng] dari mana? Tiba-tiba keluar semua,” katanya, 20 Maret 2022, ketika mengunjungi salah satu ritel modern di Jakarta dan berdialog dengan pembeli minyak goreng.

Inilah sebenarnya sisi utama dari aksi mafia minyak goreng, yaitu distribusi dan penimbunan.

Keberanian Kejaksaan Agung menetapkan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag sebagai tersangka memang layak diapresiasi.

Namun itu baru dari sisi ekspor CPO, aspek kecil saja.

Aspek utama di sisi kejahatan distribusi dan penimbunan juga harus diungkap.

Selain itu, kasus kelangkaan minyak goreng juga belum sepenuhnya tuntas.

Sebab pemerintah hanya mencabut HET minyak goreng kemasan, tidak untuk minyak goreng curah.

Untuk minyak goreng, HET dipertahankan, hanya naik dari Rp11.500 jadi Rp14 ribu.

Hanya saat ini, mencari minyak goreng susahnya bukan main, karena barangnya juga langka.

Apakah harus mengulang rute minyak goreng kemasan untuk mengatasi kelangkaan curah? Apakah HET minyak goreng curah harus dicabut, agar barang mendadak berlimpah di pasar?

Kejagung juga bisa mengusut sisi minyak curah ini.

Jadi jangan berhenti di soal pelanggaran ketentuan ekspor CPO, masuklah ke sisi distribusi dan penimbunan minyak goreng. (Bsf)



KOMENTAR

Silahkan berikan komentar dengan baik

Tulis Komentar Anda :