ANALISIS

Revisi UU P3 Jadi Jalan Pintas Legitimasi UU Cipta Kerja

Pemerintah dan DPR belum mematuhi putusan MK tentang UU Cipta Kerja.

By | Jum'at, 27 Mei 2022 19:19 WIB

Rapat parpurna DPR (Foto ilustrasi/istimewa)
Rapat parpurna DPR (Foto ilustrasi/istimewa)

JAKARTA, BELASTING – Selasa lalu, 24 Mei 2022, DPR mengesahkan revisi UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3).

Dipimpin oleh ketua DPR Puan Maharani, dan dihadiri oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani selaku wakil pemerintah, Puan pun menanyakan apakah revisi UU P3 bisa disahkan.

“Kami tanyakan kepada seluruh anggota, apakah RUU Perubahan kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dapat disetujui untuk disahkan jadi UU?" tanyanya.




“Setuju,” jawab anggota DPR serempak, kecuali Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Dari sembilan fraksi di DPR, delapan di antaranya (PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, Demokrat, PAN, dan PPP) memang kompak menyetujui revisi UU P3 tersebut.

Hanya PKS yang menolak.



Tapi itu di dalam parlemen.

Di luar parlemen, aliansi serikat buruh yang tergabung dalam Konferederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), juga menolak, bahkan menyatakan kegeramannya atas pengesahan revisi itu.

Said Iqbal, Presiden KPSI, mengatakan buruh akan melakukan aksi demonstrasi besar-besaran pada 8 Juni 2022, menolak revisi UU P3 tersebut.

“Aksi besar-besaran akan dilakukan pada 8 Juni 2022 di DPR, diikuti aksi serempak di berbagai daerah,” katanya, Rabu (25/3/2022).

Mengapa mereka menolak revisi UU P3?

Sederhana saja. Karena revisi UU P3 ini terkait dengan UU Cipta Kerja, alias Omnibus Law.

UU P3 adalah UU yang mengatur bagaimana sebuah UU dibuat.

Selama ini, berdasarkan sistem hukum Indonesia yang mengikuti aliran European continental, UU disusun secara sistematis berdasarkan tema.

Misalnya UU tentang Pajak Penghasilan (PPh) ada sendiri. UU tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPn) juga ada sendiri.

Hanya, sistem hukum European continental  itu berubah setelah Jokowi memperkenalkan Omnibus Law atau UU Cipta Kerja yang merupakan tradisi Anglo-Saxon.

Omnibus Law adalah hukum gado-gado ala tradisi Anglo-Saxon, yang diikat berdasarkan tujuan sektoral.

Misalnya Ombinus Law soal peningkatan investasi.

UU Omnibus Law itu akan mengatur berbagai hal, dari mulai pajak, agraria (pengadaan tanah), izin lingkungan, dan sebagainya, yang semuanya diatur dalam satu UU dengan pasal-pasal yang akan diarahkan untuk meningkatkan investasi.

Inilah yang terjadi di UU Cipta Kerja, sebuah UU yang mengatur dari A sampai Z, dengan tujuan –menurut klaim pemerintah-- untuk menciptakan lapangan kerja.

Tapi UU Omnibus Law semacam itu bertentangan dengan UU P3, yang masih mengatur pembuatan sebuah UU berdasarkan tradisi European continental.

Maka itu diperlukan revisi.

Inti dari revisi UU P3 pada 23 Mei 2022 lalu itu adalah memasukkan metode pembuatan UU dengan gaya Omnibus Law.

Konsekuensi hukumnya jelas.

Dengan revisi UU P3 itu, maka UU Cipta Kerja tidak lagi bertentangan dengan UU P3, hingga metode Ombinus pun sah dalam penyususan undang-undang.

 

Jalan pintas

Tapi inilah yang membuat PKS dan serikat buruh geram.

Pasalnya, putusan Mahkamah Konstitusi nomor 91/PUU-XVIII/2020 sudah jelas.

UU Cipta Kerja cacat formil dan berstatus inkonstitusonal bersyarat karena pembentukannya tidak melibatkan partisipasi masyarakat.

Karena itu, UU itu harus direvisi dalam waktu 2 tahun dengan mengikuti proses pembuatan undang-undang yang benar.

Pertanyaannya, bila putusan MK memerintahkan pemerintah untuk merevisi UU Cipta Kerja, mengapa yang direvisi justru UU P3?

Inilah memang ironi langkah pemerintah dan DPR.

Dari 9 butir amar putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang UU Cipta Kerja, tidak ada satu butir pun yang memerintahkan dilakukan revisi UU P3.

Butir-butir putusan MK memerintahkan agar pemerintah merevisi UU Cipta Kerja, yaitu:

  • Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”;
  • Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini;
  • Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen;
  • Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali;
  • Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;

 

MK memang menyinggung UU P3. Tapi tidak di amar putusan, melainkan di poin pertimbangan.

Hanya, itu pun bukan pada asas legalitasnya, melainkan pada aspek yang lebih esensial, yaitu keterbukaan, bagaimana UU Cipta Kerja disusun dengan mengesampingkan akses keterbukaan yang diatur di UU P3.

Tidak adanya keterbukaan ini antara lain terlihat dari sulinya mengakses naskah akademik UU Cipta Kerja diakses masyarakat.

Selaini itu juga karena UU Cipta Kerja dibuat secara serampangan.

MK bahkan menemukan adanya pasal-pasal yang berubah setelah UU Cipta Kerja disahkan DPR.

Itu kelas kudeta pasal.

Dengan UU Cipta Kerja yang disusun secara kacau-balau itu, wajar bila banyak kritik ketika pemerintah dan DPR jutstru lebih mendahulukan revisi UU P3.

Banyak tudingan bahwa pemerintah dan DPR sengaja mencari jalan pintas, hanya membenahi aspek legalitas UU Cipta Kerja ketika dihadapkan dengan UU P3.

Fitri Arsil, pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia, juga sependapat dengan pandangan ini.

Menurutnya, revisi UU P3 ini lebih merupakan jalan pintas DPR dan pemerintah untuk melegalkan UU Cipta Kerja.

“Dominasi pembahasan revisi ini bukan persoalan peraturan perundang-undangan yang sistemik, tapi bagaimana memberi legitimasi pada UU Cipta Kerja," katanya,

 

Tidak sepenuhnya legitimate

Lantas, dengan revisi UU P3 yang sudah disahkan, apakah UU Cipta Kerja otomatis mendapatkan legitimasi? Sah?

Tidak juga.

Putusan MK sudah nyata dan jelas. UU Cipta Kerja harus direvisi dalam waktu dua tahun, dan mempertimbangkan berbagai asas pembentukan perundang-undangan yang sehat.

Revisi UU P3 memang memberi legitimasi pada pemerintah dalam asas legalitas, tapi untuk asas keterbukaan misalnya, tidak bisa diatasi hanya dengan revisi UU P3.

Asas keterbukaan –salah satu poin yang disinggung MK dalam pertimbangannya-- hanya bisa diperbaiki bila UU Cipta Kerja direvisi ulang dengan partisipasi bermakna masyarakat, bukan partisipasi prosedural seperti sebelumnya.

Penting dicatat. Salah satu poin penting pertimbangan MK mengapa UU Cipta Kerja dinyatakan konstitusional bersyarat, karena UU ini dinilai tidak memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara maksimal.

Karena itu, meski pemerintah telah memperbaiki legitimasi UU Cipta Kerja dari sisi asas legalitas, tidak berarti UU Cipta Kerja bisa lolos tanpa dirombak ulang.

Masih ada ruang bagi serikat buruh hingga deadline November 2023 (deadline 2 tahun perbaikan UU Cipta Kerja), untuk menilai sejauh mana revisi UU Cipta Kerja telah dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh pemerintah.

Bila tidak sungguh-sungguh, maka UU Cipta Kerja bisa otomatis batal permanen per November 2023

Kecuali bila pemerintah dan DPR memutuskan untuk tidak menggubris putusan MK dan secara sepihak menyatakan UU Cipta Kerja tetap berlaku. Itu persoalan lain lagi. (bsf)



KOMENTAR

Silahkan berikan komentar dengan baik

Tulis Komentar Anda :