ANALISIS

Outlook OECD: Inflasi Tinggi Ganjal Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Konsumsi rumah tangga pada 2023 diprediksi menurun dibanding 2022.

By | Jum'at, 10 Juni 2022 10:47 WIB

Foto ilustrasi.
Foto ilustrasi.

JAKARTA, BELASTING – Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan atau Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) soroti tingginya inflasi di Indonesia.

Ini tercantum dalam laporan Outlook Ekonomi OECD edisi Juni 2022, yang diterbitkan Kamis (9/6/2022).

“Kenaikan inflasi meredam daya beli masyarakat dan permintaan akan durable goods,” demikian tulis laporan itu.




Ootlook OECD edisi Juni itu sebenarnya mengulas dampak perang Rusia-Ukraina terhadap perekonomian banyak negara.

Kesimpulan OECD tidak jauh berbeda dari Outlook versi IMF yang diterbitkan dua hari sebelumnya (7/6/2022), bahwa perang tersebut membuat perekonomian dunia melambat dan menaikkan inflasi.

Negara miskin dan berkembang akan lebih berisiko terdampak karena daya beli masyarakat yang lebih lemah dibandingkan negara-negara maju.



Khusus Indonesia, OECD memprediksi konsumsi rumah tangga akan melambat pada 2023.

Untuk 2022 ini, OECD memprediksi konsumsi rumah tangga akan berada di angka 5,3.

Namun pada 2023 mendatang, OECD memprediksi konsumsi akan merosot ke angka 4,4%.

Sedangkan untuk inflasi, OECD memprediksi inflasi akan berada di angka 3,8% baik pada 2022 dan 2023.

Sekadar informasi, sebelumnya pada April dan Mei 2022, inflasi tahunan (yoy) sudah mencapai angka 3,47% dan 3,55%, yang merupakan inflasi tertinggi sejak 2017.

Dalam catatan Belasting, prediksi inflasi OECD sebesar 3,8% ini sebenarnya masih masuk dalam rentang asumsi makro APBN 2022, yang memprediksi inflasi di rentang 2% - 4%.

Proyeksi inflasi oleh Bank Indonesia (BI) justru lebih suram.

Gubernur BI Perry Warjiyo, dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, 31 Mei 2022, memprediksi inflasi 2022 akan melampaui target APBN 2022, yaitu mencapai 4,2% di akhir tahun.

Penyebabnya, harga pangan yang tinggi sebagai dampak perang Rusia-Ukraina.

Ini tidak lepas dari posisi Indonesia yang masih mengimpor sebagian bahan pangan seperti jagung, gandum, daging sapi dan kedelai.

Jagung dan gandum misalnya digunakan sebagai pakan ternak.

Kenaikan harga jagung dan gandum akan menaikkan harga pakan ternak, dan pada akhirnya ikut menaikkan harga daging.

Ini menjelaskan mengapa harga daging ayam ikut naik, meski Indonesia tidak mengimpor ayam.

Belum lagi Indonesia juga mengimpor sampai 50% kebutuhan BBM, yang harganya (harga minyak dunia) naik akibat perang.

Berbagai faktor ini menyebabkan inflasi di Indonesia tetap tinggi, melemahkan daya beli masyarakat, dan akhirnya mengganjal pertumbuhan ekonomi.

OECD pun memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya akan mencapai angka 4,7% baik pada 2022 dan 2023, lebih rendah dibanding asumsi di APBN 2022 yang mematok angka 5,2%. (bsf)



KOMENTAR

Silahkan berikan komentar dengan baik

Tulis Komentar Anda :