ANALISIS

Pemerintah Langgar UU HPP dengan Menunda Pajak Karbon

UU HPP mengamanatkan pajak karbon berlaku per 1 April 2022.

By | Jum'at, 24 Juni 2022 15:57 WIB

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, Febrio Kacaribu (Foto: Kemenkeu).
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, Febrio Kacaribu (Foto: Kemenkeu).

JAKARTA, BELASTING – Sinyal pemerintah untuk menunda kembali penerapan pajak karbon sungguh memprihatinkan.

Sinyal ini disampaikan Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Febrio Kacaribu, dalam konferensi pers APBN Kita, Kamis (23/6/2022).

“Mengingat kondisi global yang belum cukup kondusif, maka kami masih terus menyempurnakan skema pasar karbon. Dengan kondisi saat ini, pemerintah mempertimbangkan untuk meninjau kembali pemberlakuan pajak karbon pada Juli 2022 ini,” katanya.




Sekadar informasi, pajak karbon seharusnya diterapkan pada 1 April 2022 lalu.

Tapi pemerintah memutuskan menunda hingga Juli 2022, dan kini akan ditunda lagi. Berarti sudah dua kali penundaan.

Ini memprihatinkan sekaligus kelewatan.



Mengapa?

Pertama, karena kontras dengan kengototan pemerintah yang menerapkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sesuai jadwal.

Kedua, karena melanggar UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) itu sendiri.

Perlu diingat, baik kenaikan tarif PPN 11% dan pajak karbon diatur di UU yang sama, yaitu UU HPP.

Tarif PPN dari tadinya 10% naik jadi 11% ditetapkan di pasal 7 UU HPP, berbunyi:

Pasal 7
(1) Tarif Pajak Pertambahan Nilai yaitu:
a. sebesar 11% (sebelas persen) yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022;
b. sebesar 12% (dua belas persen) yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.

 

UU HPP disahkan DPR pada Oktober 2021, dan sejak itu pemerintah mulai menyosialisasikan kenaikan tarif PPN 11%.

Mendekati April, banyak ekonom mengusulkan kenaikan tarif PPN ditunda.

Pasalnya inflasi sangat tinggi.

Perang Rusia-Ukraina meletus pada Februari 2022 dan membuat harga minyak melonjak. Selain itu pemerintah sebelumnya juga sudah menaikkan harga BBM non-subsidi (Pertamax).

Belum lagi bulan April adalah bulan Ramadhan, di mana harga pangan melonjak karena konsumsi meningkat.

Bila ditambah kenaikan tarif PPN 11%, maka inflasi yang sudah tinggi akan makin tinggi lagi.

Tapi pemerintah bergeming. Kenaikan tarif PPN 11% tetap diterapkan sesuai jadwal.

Alasannya, kenaikan tarif PPN 11% pada 1 April 2022 adalah amanat UU HPP.

Hasilnya, inflasi April 2022 pun mencapai 3,47%, melejit dibanding Maret yang hanya 2,64% (yoy).

Tapi pemerintah benar dalam satu hal: kenaikan tarif PPN 11% pada 1 April 2022 adalah amanat undang-undang. Pasal 7 UU HPP sudah sangat eksplisit menyatakan hal itu.

Undang-undang tidak boleh dilanggar, bukan?

Lantas bagaimana dengan pajak karbon?

Pajak karbon diatur di UU HPP, di pasal 13 dan pasal 17.

Pasal 13
(1) Pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup
Pasal 17
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022, yang pertama kali dikenakan terhadap badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uap batubara dengan tarif Rp30,00 (tiga puluh rupiah) per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.

 

UU HPP juga mengamanatkan pajak karbon mulai berlaku pada 1 April 2022.

Tapi tidak seperti kenaikan tarif PPN, pemerintah terlihat santai saja melanggar amanat UU ini.

Ditunda hingga Juli 2022, dan kini akan ditunda lagi.

Bagaimana memahami ini? Bahwa UU HPP dalam hal PPN dipatuhi, tapi dalam hal pajak karbon dilanggar.?

Inilah standar ganda pemerintah: keras dalam kenaikan tarif PPN, tapi lembek di pajak karbon. Padahal kedua hal itu diatur di undang-undang yang sama.

Pengamat politik mungkin akan menjelaskan itu karena pajak karbon berkait erat dengan industri batu bara, industri yang secara politik kuat, terdiri dari korporasi raksasa bermodal besar, melibatkan banyak orang berpengaruh, hingga memiliki bargaining terhadap pemerintah. Beda dengan PPN yang dibebankan kepada masyarakat umum, yang tidak punya bargaining. dan sebagainya, dan sebagainya.

Tapi analisis ini tidak ingin terlalu jauh masuk ke situ.

Yang jelas, sikap pemerintah yang terus menunda pajak karbon merupakan standar ganda, sekaligus pelanggaran terhadap UU HPP itu sendiri.

Dan akibat contoh buruk ini, frasa “menjalankan amanat undang-undang” kini jadi tidak bermakna. (bsf)



KOMENTAR

Silahkan berikan komentar dengan baik

Tulis Komentar Anda :