ANALISIS

Ironi Era Jokowi: Ingin Inflasi Turun, Tapi Naikkan Harga BBM

Jokowi ingin inflasi di bawah 3%.

By | Senin, 12 September 2022 10:33 WIB

Inflasi pangan seharusnya tidak boleh melampaui 5% (Foto ilustrasi: aktivitas jual beli di pasar tradisional).
Inflasi pangan seharusnya tidak boleh melampaui 5% (Foto ilustrasi: aktivitas jual beli di pasar tradisional).

JAKARTA, BELASTING -- Masih belum lama kita mendengar keinginan pemerintah agar inflasi berada di bawah 3%.

Itu disampaikan Presiden Joko Widodo dalam Rakornas Pengendalian Inflasi 2022, Kamis, 18 Agustus 2022.

Dalam Rakornas itu, Jokowi meminta segenap jajarannya, termasuk juga pemerintah daerah, untuk berkoordinasi dengan Tim Pengendali Inflasi Pusat (TPIP) dan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID).




Tujuannya agar inflasi, yang pada Juli 2022 mencapai 4,94%, bisa diturunkan, bahkan kalau bisa di bawah 3%.

"Saya meyakini, kalau kerja sama yang saya sampaikan, bupati, gubernur, walikota, TPIP, TPDI, semuanya bekerja, [persoalan] rampung, selesai untuk mengembalikan lagi angka [inflasi] di bawah 3%," kata Jokowi ketika itu.

Lalu pada 3 September 2022, Jokowi pun mengumumkan kenaikan harga BBM.



Bisakah kenaikan harga BBM berdampak pada penurunan inflasi?

BBM Naik ketika Inflasi Sudah Tinggi
Sekadar informasi, sebelum harga BBM naik, inflasi sudah menjadi persoalan.

Inflasi mulai jadi persoalan sejak awal 2022, ketika pemerintah tidak berdaya mengendalikan harga minyak goreng hingga memicu lonjakan harga pangan.

Perlu diingat, harga minyak goreng melejit sejak Oktober 2021, dan baru diatasi pemerintah lewat penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) pada Februari 2022.

Namun HET hanya bertahan sebulan, karena pemerintah tidak sanggup mengatasi kelangkaan minyak goreng.

HET minyak goreng dicabut (kecuali untuk minyak curah), dan inflasi Maret pun melejit.

Dari sebelumnya 2,06% pada Februari menjadi 2,64% pada Maret 2022.

Namun, sinyal serius masalah inflasi terutama muncul pada bulan April, Mei dan Juni.

Pemicunya adalah perang Rusia-Ukraina yang meletus pada Maret 2022, yang membuat harga minyak mentah dan pangan naik.

Tiga Pukulan di Bulan April
Dampak ekonomi situasi geopolitik Rusia-Ukraina ini adalah pukulan berikutnya yang diterima masyarakarat setelah kasus minyak goreng.

Perang Rusia-Ukraina memang pukulan yang bersifat global, berdampak ke banyak negara.

Namun selain itu,  ada dua "pukulan lokal" lain yang juga menghantam daya beli masyarakat.

Yaitu momen awal bulan Ramadhan yang jatuh pada 2 April 2022, dan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11%

Ramadhan adalah bulan penuh berkah. Tapi  selama Ramadhan, konsumsi masyarakat selalu meningkat.

Permintaan akan barang-barang meningkat, membuat harga naik, dan inflasi juga naik.

Kenaikan inflasi selama bulan Ramadhan memang sulit dihindari.

Tapi pukulan ketiga, kenaikan tarif PPN, seharusnya bisa.

Sejak bulan Mei, sudah banyak ekonom menyerukan agar pemerintah menunda kenaikan tarif PPN.

Alasannya jelas. Daya beli masyarakat sudah terkena dua pukulan berupa situasi perang Rusia-Ukraina dan momen Ramadhan.

Jangan ditambah lagi pukulan ketiga dengan kenaikan pajak.

Tapi pemerintah menolak, dan tetap berkeras menaikkan  PPN per awal April.

Akhirnya inflasi pun melejit.

Dari inflasi 2,64% pada Mei 2022, inflasi langsung melonjak jadi 3,55% pada April 2022.

Baru kemudian dampak inflasi setinggi itu terbukti.

Danareksa Research Institute (DRI) dalam risetnya yang dirilis pertengahan April, menyatakan tidak semua kelompok masyarakat meningkatkan konsumsi selama Ramadhan.

Mereka yang berpendapatan di bawah Rp3 juta per bulan justru mengurangi belanja meski bulan Ramadhan.

Lalu pada Juni 2022, Bank Dunia dalam merilis laporan Indonesia Economic Prospects (IEP) yang menyatakan kenaikan tarif PPN pada April lalu itu meningkatkan kemiskinan sebesar 0,27%.

Itu setara penambahan sekitar 700 ribu orang warga miskin baru.

BI dan Prediksi Inflasi yang Selalu Meleset
Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter sayangnya juga tidak mampu mengantisipasi gejolak inflasi ini.

Prediksinya justru selalu meleset.

Pada awal April 2022, setelah daya beli mendapat tiga pukulan beruntun dari perang Rusia-Ukraina, momen Ramadhan dan kenaikan tarif PPN, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSKK) menggelar konferensi pers.

Gubernur BI, Perry Warjyo,mengatakan meski tekanan harga energi dan pangan tinggi, dia optimis inflasi tetap di bawah 4%.

"Dari assessmen secara keseluruhan, kami masih confident inflasi bisa terjaga di sasaran, yaitu 2% hingga 4%," katanya, 13 April 2022.

Tapi sebulan kemudian assesment itu berubah.

Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Perry mengakui bahwa batas atas inflasi 4% kemungkinan besar akan terlampaui.

Prediksi BI, inflasi akan mencapai 4,2%.

"Perkiraan kami pada akhir tahun ini, inflasi sedikit di atas sasaran, yaitu 4,2%, terutama karena dampak kenaikan adeministered price dan harga pangan," katanya, 31 Mei 2022.

Dua bulan kemudian, assesmen itu berubah lagi.

Juli 2022, usai BI mempertahankan suku bunga acuan di angka 3,5%, Perry kembali merevisi prediksi inflasi 2022. Kali ini naik dari 4,2% menjadi 4,6%.

"Kami perkirakan inflasi akhir tahu lebih tinggi dari 4,2%, bisa mencapai 4,5% hingga 4,6%," katanya, 21 Juli 2022.

Hasilnya?

Ketika BPS mengumumkan inflasi Juli 2022, barulah semua pihak tersentak.

Inflasi ternyata sudah mencapai 4,94%, melampaui prediksi BI yang sudah dua kali direvisi.

Dan tidak perlu menunggu sampai akhir tahun.

Inflasi Januari-Agustus 2022

Januari 2,18%
Februari 2,06%
Maret 2,64%
April (awal Ramadhan) 3,74%
Mei 3,55%
Juni 4,35%
Juli 4,94%
Agustus 4,69%

Sumber: BPS, angka secara yoy (year-on-year)

Inflasi Pangan Lebih Tinggi
Tapi inflasi 4,94% pada Juli 2022 itu adalah indeks secara umum.

Bila dibreak-down, maka inflasi untuk kelompok pangan lebih tinggi, yaitu 10,47% pada Juli 2022.

Inilah yang sebenarnya jadi masalah. Sebab, pangan adalah kebutuhan pokok.

Gubernur BI, Perry Warjiyo pun menilai inflasi setinggi itu sudah melampaui batas.

"Harusnya [inflasi pangan] tidak boleh lebih dari 5%, mentok 6%," katanya, 10 Agustus 2022.

Dia menjelaskan masyarakat kelas menengah bawah bisa menghabiskan hingga 60% pendapatan mereka hanya untuk membeli bahan makanan.

Ini berbeda dari kelas menengah yang uangnya justru lebih banyak keluar untuk aktivitas leisure atau rekreasi.

Jadi ketika inflasi pangan melambung, tekanan terhadap kelas menengah bawah sangat besar.

Menurut Perry, inflasi pangan setinggi itu sudah mengancam, bukan lagi masalah ekonomi, tapi juga sosial, bahkan beresiko jadi masalah politik.

"Inflasi pangan adalah masalah perut. Itu dampaknya langsung ke kesejahteraan. Ini bukan masalah ekonomi saja, juga masalah sosial,  dan jangan sampai jadi masalah politik," katanya.

Sekadar perbandingan, ketika inflasi pangan melejit jadi 10,47%, kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2022 hanya naik rata-rata 1.09%.

Siapa menyangka. Di tengah tekanan inflasi ini, tiba-tiba pemerintah menambah lagi pukulan berupa kenaikan BBM.

Soal Pilihan
Sebenarnya sudah banyak alternatif solusi yang ditawarkan para ekonomi daripada menaikkan harga BBM.

Misalnya refocussing anggaran, mengalihkan anggaran dari proyek-proyek yang kurang urgen ke subsidi BBM.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, misalnya mencontohkan refocussing dana proyek ibu kota baru hingga kereta cepat Jakarta-Bandung.

Proyek ibu kota baru diperkirakan memakan biaya Rp486 triliun dan pemerintah akan menanggung 20% atau setara Rp92 triliun.

Sedangkan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, setelah mengalami pembengkakan, kini biayanya menjadi Rp114,4 triliun.

Sementara menurut perhitungan Badan Kebijakan Fiskal (BKF), dari kenaikan BBM bersubsidi ini pemerintah bisa menghemat sekitar Rp48 triliun.

Refocussing anggaran juga bukan hal baru, karena pemerintah juga melakukan itu pada 2020, di masa awal-awal pandemi. Berbagai dana untuk proyek yang dinilai tidak urgen dialihkan untuk kebutuhan penanggulangan pandemi.

Nailul menjelaskan bahwa kebijakan pemerintah pada dasarnya adalah soal pilihan. Tergantung pemerintah mau memprioritaskan yang mana.

Sayangnya sejauh ini, pemerintah terlihat lebih memprioritaskan pembangunan ibu kota baru.

Nailul bahkan curiga pengurangan anggaran subsidi BBM itu tujuannya karena anggaran itu dialokasikan untuk proyek lain.

Menurutnya, pengurangan beban subsidi dan kompensasi energi di APBN mengindikasikan bahwa anggaran tersebut akan digunakan untuk sebuah proyek.

"Kita bisa bilang bahwa nampaknya pemerintah menyiapkan anggaran itu untuk sebuah proyek atau beberapa proyek, salah satunya yang saya sorot adalah IKN (Ibu Kota baru)," katanya dalam program Market Review di IDX Channel, Kamis (8/9/2022).

Dia juga ragu pemerintah akan konsisten menepati taget hanya akan menggunakan 20% APBN untuk pembangunan ibu kota baru --sisanya mengandalkan pendaanaan swasta.

Sebab, Jokowi minta agar proyek ibu kota baru masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN).

Dengan status PSN, berarti proyek itu akan mendapatkan prioritas pendanaan.

"Salah satu manfaatnya IKN masuk ke PSN adalah mempercepat kucuran anggaran dari Kemenkeu. Karena kalau kita lihat salah satu pasalnya itu di PP (Peraturan Pemerintah) tersebut memang menyebutkan bahwa ketika pemerintah pusat membangun sebuah PSN, Kemenkeu bisa mengucurkan dana prioritas. Jadi, prioritasnya sangat tinggi," jelasnya.

Inflasi Di Bawah 3%
Lantas, bagaimana dengan visi agar inflasi bisa di bawah 3%?

Jelas sulit. Pasalnya karena kenaikan tarif BBM, Kementerian Keuangan sendiri memperkirakan inflasi akan mencapai 6,6% hingga 6,8% pada akhir 2022.

Tapi lagi-lagi itu perkiraan angka inflasi secara umum.

Untuk khusus inflasi pangan, yang lazimnya lebih tinggi dibanding inflasi umum, sejauh ini belum ada prediksi. (bsf)



KOMENTAR

Silahkan berikan komentar dengan baik

Tulis Komentar Anda :