ANALISIS

Gali Lubang Tutup Lubang APBN 2023

APBN 2023 tarik utang baru Rp698 triliun, lalu bayar bunga utang Rp441 triliun.

By | Sabtu, 08 Oktober 2022 06:30 WIB

Rapat paripurna DPR pengesahan RAPBN 2023 menjadi UU APBN 2023, Kamis, 29 September 2022 (Foto ilustrasi/istimewa).
Rapat paripurna DPR pengesahan RAPBN 2023 menjadi UU APBN 2023, Kamis, 29 September 2022 (Foto ilustrasi/istimewa).

JAKARTA, BELASTING -- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya mengesahkan RAPBN 2023 menjadi Undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR, Kamis dua pekan lalu (29/9/2022).

Tidak banyak perdebatan dalam rapat paripurna itu. Tinggal ketok palu, setuju.

Maklum, perdebatan sudah terjadi di rapat Badan Anggaran dua hari sebelumnya. Di Badan Anggaran itulah berbagai fraksi melontarkan berbagai pendapat mereka tentang postur RAPBN 2023.




Dari 9 fraksi di DPR, sebanyak 8 fraksi menyatakan setuju tanpa embel-embel.

Hanya satu fraksi, yaitu Fraksi Partai Keadilan Sejahera (F-PKS) yang menyatakan setuju dengan catatan (minderheid nota).

FPKS memberikan sebanyak 27 catatan, terkait belanja, perpajakan, tingkat suku bunga dan sebagainya.



APBN 2023 sebagai Shock Absorber

Di atas kertas, semangat APBN 2023 adalah menjadi shock absorber (peredam kejut), alias tameng bagi rakyat menghadapi resesi global yang diprediksi terjadi pada 2023.

Ini disampaikan Menkeu Sri Mulyani dalam pidato pendapat akhir pemerintah di rapat paripurna pengesahan UU APBN 2023.

"Mendesain APBN 2023 agar memiliki fleksibilitas sebagai instrumen stabilisasi atau shock absorber dalam melindungi daya beli masyarakat miskin dan rentan, serta menjaga pemulihan ekonomi nasional yang makin kuat," katanya (29/9/2022).

Perlu diingat pada 2023 nanti ekonomi global memang diperkirakan akan memasuki resesi..

Banyak negara secara bersamaan menaikkan suku bunga, dari Amerika Serikat, negara-negara Eropa hingga Asia.

Bank Indonesia juga ikut menaikkan suku bunga, dari tadinya 3,5% yang sudah bertahan selama 16 bulan (sejak Maret 2020) jadi 4,25% pada September 2022.

Menkeu Sri Mulyani bahkan mengatakan resesi global 2023 bersifat pasti.

"Kenaikan suku bunga cukup ekstrem secara bersama-sama, maka dunia pasti resesi pada 2023," katanya (26/9/2022).

Meski peluang Indonesia jatuh ke resesi dinilai kecil, tapi dampak resesi global akan tetap terasa.

Pertama, inflasi akan tetap tinggi.

Ini tercermin dari perubahan target inflasi yang tadinya 3,3% di RAPBN, lalu dinaikkan menjadi 3,6%.

Kedua, terjadi stagnasi ekonomi.

Sektor usaha yang berorientasi ekspor, yang mendapat uang dari penjualan produk di luar negeri, akan paling merasakan dampak resesi global. Sebab permintaan akan turun, membuat keuntungan usaha turun.

Dua faktor itu akan membuat perekonomian Indonesia 2023 tidak tumbuh pesat, melainkan cenderung stagnan.

Ini antara lain tercermin dari target pertumbuhan ekonomi 2023 yang hanya 5,3%.

Sekadar informasi, outlook pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 ini, berdasarkan World Economic Outlook edisi Juli 2022 IMF, diperkirakan hanya 5,3%.

Bila outlook pertumbuhan 2022 sebesar 5,3%, lalu target pertumbuhan 2023 juga tetap 5,3%, itu stagnan namanya.

APBN sudah capek terus digenjot

Tapi kita tidak bisa bicara APBN 2023 tanpa menyinggung pandemi Covid19 pada 2020-2021.

Pasalnya sejak pandemi Covid19 dimulai pada 2020, APBN terus digenjot untuk mengatasi pandemi dan berbagai dampak negatifnya, terutama perlambatan di bidang ekonomi.

Berbagai insentif dikucurkan selama tiga tahun terakhir. Dari mulai insentif UMKM, kartu pra kerja, bansos, insentif impor, dan berbagai insentif lain, yang semuanya terkumpul di dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Semua itu tentu butuh biaya. Dan, dari mana biayanya kalau bukan utang?

Dalam paparannya, Menkeu menjelaskan bahwa selama dua tahun (2020-2021), defisit APBN dengan cepat membengkak jadi 10,7% terhadap PDB.

Apakah APBN 2023 masih mempertahankan kebijakan genjot?

Tidak.

Karena itu, meski Menkeu menyatakan APBN 2023 berfungsi sebagai shock absorber, ada fungsi lain yang juga diemban APBN 2023.

Fungsi ini bahkan bisa dibilang lebih prioritas, yaitu konsolidasi fiskal.

Konsolidasi Fiskal 2023

Istilah canggih "konsolidasi fiskal" ini bisa dipahami dengan bahasa lebih sederhana.

Yaitu, karena sudah tiga tahun APBN terus digenjot untuk mengatasi pandemi, dan berdampak pada kenaikan defisit secara signifikan, maka pada 2023 ini APBN tidak akan lagi digenjot.

Kini saatnya membuat APBN lebih sehat, defisit harus di bawah 3%.

Bila APBN terus digenjot, bisa-bisa jebol alias bangkrut, karena terus menggenjot pengeluaran tapi tidak mengkalulasi pendapatan.

Dalam bahasa formal Sri Mulyani:

"Keputusan DPR bersama pemerintah untuk melakukan konsolidasi fiskal pada tahun 2023 adalah keputusan yang benar dan sungguh sangat penting, strategis dan tepat waktu. Setelah 3 tahun kita dihadapkan pada pandemi dan konsekuensinya yang menyebabkan defisit APBN meningkat melebihi batas 3% PDB, mengembalikan kesehatan APBN adalah langkah bijak dan tepat," katanya dalam pidato di Rapat Paripurna.

Ini berarti, pengeluaran berlebih akan mulai dikurangi. Kesehatan APBN mulai diprioritaskan. Konsolidasi fiskal, istilahnya.

APBN 2023 Dinilai Tidak Responsif terhadap Resesi

Antara fungsi konsolidasi fiskal dan fungsi shock absorber sebenarnya agak bertentangan. Sebab bila sungguh-sungguh hendak menjadi shock absorber, maka postur APBN 2023 akan lebih berat pada program-program anti-kemiskinan dan penguatan daya beli masyarakat.

Tapi itu tidak terjadi. Postur APBN 2023 sebenarnya lebih condong ke konsolidasi fiskal alih-alih sebagai shock absorber.

Keputusan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi saja, dengan alasan terlalu membebani APBN, sudah menunjukkan kalau pemerintah tidak lagi fokus pada fungsi shock absorber.

Karena ini bisa dimengerti mengapa beberapa ekonom menilai APBN 2023 dinilai tidak responsif terhadap resesi --meski Menkeu tetap mengklaim sebagai shock absorber.

Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, misalnya menyoroti anggaran perlindungan sosial (perlinsos) yang hanya Rp400an triliun di APBN (anggaran perlinsos persisnya sebesar Rp479 triliun).

Menurutnya itu terlalu kecil.

"Spesifik untuk perlindungan sosial itu kalau di APR APBN 2023 itu sekitar Rp 400an triliun. Itu sebenarnya 2,5% dari PDB, kalau diukur dari PDB itu kecil sekali,” katanya (29/9/2022).

Menurut Bhima, idealnya pemerintah mengalokasikan 4-5% dari PDB untuk perlinsos.

Ini karena mempertimbangkan faktor resesi 2023, maka inflasi akan tinggi, dan kemiskinan diprediksi akan meningkat.

Bila APBN 2023 hendak diposisikan sebagai shock absorber, bukankah seharusnya anggaran penanggulangan kemiskinan diperbesar? Mengapa hanya Rp479 triliun? Begitulah kurang lebih logikanya.

Bunga utang Rp441 triliun

Ini juga salah satu yang disorot di APBN 2023, yaitu pembayaran bunga utang (interest) sebesar Rp441,4 triliun.

APBN 2023 mengalokasikan dana sebesar itu untuk pembayaran bunga utang.

Sekali lagi bunga, belum termasuk pembayaran cicilan pokok utang.

Dari mana dana pembayaran itu? Apakah dari pajak?

Jelas tidak. APBN 2023 menganggarkan penarikan utang baru sebesar Rp696,32 triliun. Sebagian utang itu akan digunakan untuk membayar bunga utang.

Bila mengutip lagu Rhoma Irama, dengan demikian yang terjadi adalah “gali lubang tutup lubang, pinjam uang bayar utang”.

Ini tercermin dari keseimbangan primer APBN 2023 yang minus Rp156,75 triliun.

Pembayaran bunga utang Rp441,4 triliun memang besar. Bahkan anggaran kesehatan saja hanya Rp169,8 trilun, kalah dibanding anggaran bayar bunga.

Angka Rp441,4 triliun juga itu setara 21,8% dari target pendapatan pajak di APBN 2023.

Tapi apa boleh buat. Beban bunga utang itu merupakan konsekuensi dari dari jumlah utang pemerintah, yang saat ini mencapai Rp7.163 triliun, atau setara 37,91% terhadap PDB.

Dalam catatan Belasting, memang terdapat peningkatan kewajiban pembayaran bunga utang sejak dua tahun terakhir.

Berdasarkan Buku Nota Keuangan 2022 misalnya, bunga utang yang dibayar pemerintah pada 2022 mencapai Rp405 triliun. Siapa menyangka pada 2023 naik jadi Rp441 triliun.

Sebagai perbandingan, pada 2018 misalnya jumlah pembayaran bunga utang masih Rp257,0 triliun.

Sumber: Kemenkeu

Tax ratio 2023 ditargetkan turun

Yang juga jadi sorotan adalah turunnya target tax ratio 2023 menjadi hanya 8,16%.

Ini bisa dibilang salah satu misteri di APBN 2023.

Sebab pada 2022 ini, outlook tax ratio diprediksi sebesar 8,35%. Mengapa pada 2023 ditargetkan turun?

Menkeu memang menjelaskan bahwa penurunan itu karena penerimaan pajak tahun 2022 banyak disumbang oleh program tax amnesty jilid II dan booming harga komoditas.

Tapi alasan itu juga sulit diterima.

Pasalnya pada 2021, ketika tidak ada program tax amnesty jilid II dan booming harga komoditas, tax ratio RI mampu mencapai 9,11%.

Padahal pada 2021 pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 3,67%, dan tarif PPN juga belum naik jadi 11%.

Bagaimana bisa dengan target pertumbuhan ekonomi 5,3% pada 2023, tarif PPN sudah naik, target tax ratio justru turun jadi 8,16%?

Keputusan pemerintah menurunkan target tax ratio jadi 8,16% ini termasuk hal yang sulit dimengerti di APBN 2023. (bsf)



KOMENTAR

Silahkan berikan komentar dengan baik

Tulis Komentar Anda :