ANALISIS

Permainan Piutang Pajak

Piutang pajak tak tertagih berbahaya karena merugikan keuangan negara.

By | Jum'at, 14 Oktober 2022 14:37 WIB

Ketua BPK Isma Yatun menyerahkan IHPS 1-2022 ke ketua DPR Puan Maharani, Selasa, 4 Oktober 2022 (Foto: dok. BPK)
Ketua BPK Isma Yatun menyerahkan IHPS 1-2022 ke ketua DPR Puan Maharani, Selasa, 4 Oktober 2022 (Foto: dok. BPK)

SELASA pekan lalu (4/10/2022) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) resmi menyerahkan laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I-2022 ke DPR.

Ikhtisar audit setebal 350 halaman itu memuat banyak temuan. Di bidang pajak, di antaranya temuan piutang pajak macet sebesar Rp20,84 triliun.

"Piutang pajak macet sebesar Rp20,84 triliun belum dilakukan tindakan penagihan secara memadai," demikian tulis audit tersebut.




BPK pun merekomendasikan pemerintah untuk segera melakukan penagihan sebelum utang pajak itu berstatus daluwarsa --alias hangus, tidak bisa lagi ditagih.

Apa itu piutang pajak
Apa itu piutang pajak? Itu adalah piutang pemerintah kepada wajib pajak. Wajib pajak memiliki tanggungan pajak yang belum dibayar atau baru dibayar sebagian hingga memiliki utang pajak.

Dari persepektif pemerintah, dikategorikan piutang. Jadi itu bukan istilah rumit. Esesinya sama seperti perusahaan pembiayaan kredit sepeda motor memiliki piutang cicilan kepada pembeli motor.



Piutang pajak macet sebesar Rp20,84 triliun dengan demikian artinya cukup jelas. Ada duit pajak sebesar Rp20,84 triliun yang  belum bisa ditarik, macet.

Karena itu BPK pun merekomendasikan agar pemerintah melakukan 'penagihan aktif', yaitu menagih secara lebih keras.

Sampai di sini, mereka yang belum terlalu mengerti dunia perpajakan mungkin akan heran dan bertanya: mengapa pemerintah sampai memiliki piutang pajak macet?

Bukankah pemerintah memiliki aparat hukum, Ditjen Pajak (DJP) juga memiliki kewenangan menyita aset wajib pajak? Kok bisa macet? Mungkinkah dalam soal urusan menagih utang, pemerintah kalah dibandingkan dengan perusahaan debt-collector, misalnya?

Sayangnya permasalahan tidak sesederhana itu. Masalah tagih-menagih utang pajak oleh pemerintah lebih rumit dibandingkan dengan perusahaan debt-collector menagih cicilan kredit motor.

Tidak sekadar piutang pajak macet, pemerintah juga terkadang harus melepaskan piutang tersebut karena kedaluwarasa. Hal ini juga dicantumkan oleh BPK di IHPS 1-2022 tersebut. hal.64.

".. pemerintah belum memaksimalkan tindakan penagihan sehingga terdapat piutang pajak kedaluwarsa sebesar Rp710,15 miliar."

Apa artinya piutang pajak kedaluwarsa?

Artinya, piutang pajak itu sudah melampaui batas penagihannya alias tidak bisa lagi ditagih. Alias hangus. Wajib pajak pun girang karena batal bayar pajak.

Kedaluwarsa Piutang Pajak
Permasalahan piutang pajak ini karena hukum pajak harus bersifat pasti, atau disitilahkan kepastian hukum pajak.

Pasti dalam hal berapa tarif pajak yang harus dibayar, kapan harus dibayar, kapan pembayaran dianggap terlambat, dan sebagainya. Salah satu kepastian itu juga terkait waktu penagihan.

Waktu penagihan pajak tidak bersifat selamanya, melainkan hanya 5 tahun. Jadi, pemerintah hanya memiliki waktu 5 tahun untuk menagih piutang pajak.

Apabila dalam kurun 5 tahun itu piutang pajak tidak juga ditagih, maka statusnya pun kedaluwarsa. Hal ini tercantum di pasal 22 UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) yang terakhir diperbarui pada 2009.

Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali.

Memang, masa kedaluwarsa itu bisa diperpanjang hingga 5 tahun lagi hingga total 10 tahun apabila terdapat indikasi penyelewenangan hingga DJP bisa melakukan penyelidikan atau menerbitkan surat paksa.

Namun, harus juga diakui bahwa  wajib pajak--apalagi wajib pajak kakap dengan nilai pembayaran pajak mencapai miliaran atau triliunan--juga tidak kalah pintar.

Permainan Piutang Pajak
Salah satu masalah misalnya muncul dari keberatan dan banding. Warga biasa mungkin pasrah saja ketika DJP menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang menyatakan si X memiliki utang pajak sekian rupiah.

Namun, wajib pajak kakap bukan tipe yang mudah digertak. Mereka memiliki akuntan yang juga mampu menghitung pajak, juga memiliki pengacara.

Mereka bisa mengajukan keberatan, protes atas nilai pembayaran pajak yang ditetapkan DJP.

Sesuai konstruksi Pasal 22 tersebut, maka ketika wajib pajak mengajukan keberatan, maka sebelum putusan keberatan jatuh, DJP belum berhak melakukan penagihan.

Bila keberatan ditolak, lalu wajib pajak mengajukan banding ke pengadilan pajak, hak untuk menagih juga belum ada.

Hak penagihan baru muncul setelah ada putusan banding, atau bila perkara dilanjutkan, hingga putusan Peninjauan Kembali (PK).

Dengan kata lain, ketika wajib pajak memutuskan berperkara melawan DJP di pengadilan, maka hak penagihan piutang pajak belum jatuh.

Hak penagihan baru muncul setelah ada putusan pengadilan. Berapa tahun hingga muncul putusan pengadilan?

Untuk keberatan saja bisa maksimum 1 tahun, bila ditambah lagi masa berperkara di pengadilan pajak, bisa butuh 2 tahun hingga putusan. Bila wajib pajak maju terus hingga ke Mahkamah Agung, bisa-bisa sampai 4-5 tahun baru ada putusan.

Apakah wajib pajak berdiam diri menunggu putusan?

Tidak juga. Berdasarkan informasi yang dihimpun Belasting, bukan hal baru ketika wajib pajak melakukan tindakan "antisipatif", misalnya mengalihkan aset-aset perusahaan ke perusahaan lain.

Jadi, misalnya wajib pajak perusahaan X protes atas penetapan besaran nilai pajak lalu menggugat ke pengadilan pajak, selama proses hukum berlangsung, perusahaan X bisa mengalihkan aset-aset mereka ke perusahaan lain.

Tujuannya agar ketika putusan pengadilan terbit dan misalnya DJP menang, putusan itu tidak dapat dieksekusi karena operasional dan aset PT X sudah tidak mencukupi membayar pajak terutang.

Bahkan terkadang ada putusan yang ketika terbit, perusahaan tersebut sudah bubar atau berstatus pailit. Lantas ke mana DJP menagih piutang pajak?

Itu salah satu contoh saja mengapa muncul piutang pajak tak tertagih. Banyak sebab lain tentu, dari mulai kelambatan administrasi, kurang aktif menagih dan sebagainya.

Bukan hal baru
Namun yang perlu digarisbawahi dari temuan BPK tersebut, bahwa keberadaan piutang pajak bukan hal baru.

Piutang pajak daluarsa hingga tidak bisa lagi ditagih juga bukan hal baru. Itu temuan rutin yang sering dilaporkan BPK, dan jumlahnya memang mencapai triliunan setiap tahun.

Temuan rutin ini dengan sendirinya menunjukkan bahwa hingga kini permasalahan piutang pajak belum teratasi.

Bahkan yang agak menakutkan, berdasarkan data Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2017-2021, jumlah piutang pajak pada 2021 mencapai Rp115,67 triliun dengan jumlah piutang tak tertagih mencapai Rp43,27 triliun.

Besarkah dana Rp115 triliun itu?

Jelas besar, mengingat demi menghemat dana subsidi Rp33 triliun saja, berdasarkan hitungan Reforminer, pemerintah merasa perlu menaikkan harga BBM subsidi seperti Pertalite dan solar subsidi.

Bila demi menghemat Rp33 triliun saja pemerintah berani menaikkan harga BBM subsidi meski menyebabkan inflasi naik, tentunya piutang pajak Rp115 trilun akan dikejar lebih keras lagi.

Piutang pajak, apalagi dengan jumlah mencapai puluhan triliun, adalah hal berbahaya karena berarti ada celah penerimaan yang belum dioptimalkan penggunaannya.

Piutang pajak tak tertagih alias kedaluwarasa lebih berbahaya lagi karena berarti ia telah mengurangi penerimaan negara. Ada kerugian negara di situ.

Di sinilah perlunta reformasi perpajakan, agar piutang pajak tidak menumpuk, dan jumlah piutang pajak tak tertagih makin berkurang. (bsf)



KOMENTAR

Silahkan berikan komentar dengan baik

Tulis Komentar Anda :