Ironi Pajak Karbon, Ucapan Menteri Kalahkan Undang-undang

JAKARTA, BELASTING -- Pemerintah akhirnya memutuskan menunda penerapan pajak karbon hingga 2025.
Ini disampaikan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam acara Capital Market Summit & Expo 2022, Kamis dua pekan lalu (13/10/2022)..
"Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca dan target NCD pada 2060 atau lebih cepat. Salah satu yang akan diterapkan diawal adalah perdagangan karbon dan pajak karbon yang ditargetkan akan berfungsi pada tahun 2025," katanya.
Penundaan ini tidak mengherankan, meski memprihatinkan.
Pasalnya sejak beberapa bulan terakhir, sudah terlihat tanda-tanda bahwa pemerintah tidak memiliki komitmen untuk menerapkan pajak karbon sesuai jadwal.
Sekadar informasi, berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), pajak karbon seharusnya mulai berlaku pada 1 April 2022.
Tapi pajak ini terus ditunda dengan berbagai alasan.
Awalnya ditunda hingga Juli 2022, lalu ditunda lagi hingga waktu yang belum jelas.
Alasan yang disampaikan, pajak karbon masih perlu "dimatangkan" karena pemulihan ekonomi masih rapuh.
Ini misalnya disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani, dalam acara HSBC Summit, pertengahan September lalu (14/9/2022).
"Rencana ini [pajak karbon] perlu terus dikalibrasi ulang, mengingat keadaan masih rentan, pemulihan ekonomi kita masih sangat rapuh, terutama karena pandemi dan sekarang dilanda krisis energi dan pangan," katanya.
Baru dari pernyataan Airlangga dua pekan lalu, terungkap bahwa pemerintah akan menunda pajak karbon hingga 2025, alias setelah pemilu 2024.
Ini berarti penerapan pajak karbon dilempar ke pemerintahan selanjutnya.
Pemerintahan periode 2019-2024 ini resmi angkat tangan.
Lantas, bisakah dipastikan pajak karbon akan berlaku pada 2025?
Jelas tidak. Sebab pemerintahan hasil pemilu 2024 bisa jadi punya agenda berbeda.
Ucapan Menteri Kalahkan Undang-undang
Ada banyak ironi dari penundaan pajak karbon ini. Tapi yang terbesar: undang-undang ternyata bisa dikalahkan oleh ucapan pejabat.
Perlu diingat lagi bahwa pajak karbon merupakan amanat undang-undang.
Amanat di sini bukan hanya soal pemberlakuan pajak karbon, tapi juga kapan pajak karbon diterapkan, dan berapa tarifnya.
Ketentuan itu tercantum secara ekplisit di pasal 13 dan 17 UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Berikut kutipannya:
(1) Pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022, yang pertama kali dikenakan terhadap badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uap batubara dengan tarif Rp30,00 (tiga puluh rupiah) per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.
Maksud dari pasal-pasal ini cukup jelas.
Di bagian penjelasan UU HPP, untuk pasal 17 juga disebutkan "cukup jelas".
Artinya, pajak karbon seharusnya mulai diterapkan pada 1 April 2022. Itu amanat UU HPP.
Dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia, perubahan terhadap undang-undang baru sah bila undang-undang itu direvisi, atau dilterbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu).
Ini berarti UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan harus direvisi, khususnya pasal 17. atau pemerintah menerbitkan Perppu untuk merevisi pasal tersebut.
Dengan revisi atau penerbitan Perppu itulah penundaan pajak karbon bisa memiliki dasar hukum.
Tapi tidak ada revisi UU, juga tidak ada Perppu tentang pajak karbon.
Yang ada hanyalah ucapan Menkeu dan Menko Perekonomian tentang penundaan pajak karbon.
Ini yang luar biasa. Sejak kapan ucapan menteri bisa mengalahkan undang-undang?
Dugaan Kepentingan Pemilu 2024
Di luar masalah pelanggaran undang-undang, apa sebenarnya alasan di balik penundaan pajak karbon?
Menurut ekonom Faisal Basri, tekanan dari para pengusaha batu bara disinyalir sebagai penyebab penundaan.
Ini disampaikan Faisal dalam sebuah diskusi di Jakata akhir Agustus lalu.
Menurutnya, para pengusaha baru bara ini tidak ingin ada pajak karbon hingga 2024.
Para pengusaha ini punya posisi tawar kuat karena merekalah cukong di balik pencalonan para politisi.
"Ini kan menurut saya kebiadaban. 'Pokoknya lo sampai 2024 jangan ganggu kerajaan batu bara, karena kerajaraan batu bara inilah yang akan membiayai kampanye capres dan cawapres, gubernur, walikota'. Ini beneran ngeri," kata Faisal, Senin (29/8/2022).
Benar tidaknya sinyalemen Faisal itu memang masih bisa diperdebatkan.
Namun yang jelas, penundaan ini jadi contoh buruk kepastian sekaligus penegakan hukum oleh pemerintah.
Pasalnya, meski undang-undang sudah mengatur suatu hal secara eksplisit, belum tentu hal itu bisa dilakukan.
Praktiknya, di atas undang-undang ternyata masih ada ucapan menteri. (bsf)
KOMENTAR
Silahkan berikan komentar dengan baikTulis Komentar Anda :
TERPOPULER
