Menanti Integrasi Data Balikan NIK-NPWP

KEMENTERIAN Keuangan (Kemenkeu) menyatakan saat ini sebanyak 50 juta Nomor Induk Kependudukan (NIK) sudah berfungsi sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Ini disampaikan Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, dalam konferensi pers APBN Kita Jumat lalu (21/10/2022).
Kemenkeu sebelumnya memang memverifkasi sebanyak 86 juta NIK.
"Dari 68 juta [NIK] yang kita coba verifikasi, kurang lebih ini 50 juta lebih sudah valid [sebagai NPWP]," katanya.
Ini berarti Kemenkeu sudah memverifikasi 73% dari target 68 juta NIK
Sekadar informasi, integrasi antara NIK dan NPWP memang sudah menjadi amanat undang-undang.
Ketentuan ini diatur di pasal 2 ayat 1a UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, yang berbunyi. "Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi wajib pajak orang pribadi yang merupakan penduduk Indonesia menggunakan nomor induk kependudukan".
Adapun tujuan integrasi NIK-NPWP ini dalam rangka mencapai Nomor Identitas Tunggal atau SIngle Identity Number (SIN) yang diharapkan mampu meningkatkan penerimaan pajak.
Dengan NIK kini telah valid menjadi NPWP, apakah SIN telah tercapai?
Integrasi Data, Bukan Cuma Nomor
Inilah kekeliruan yang sering terjadi. SIN pada dasarnya adalah integrasi data, bukan cuma nomor.
Data di belakang nomor itulah yang penting.
Sebagai ilustrasi, ketika NIK diintegrasikan dengan nomor pelanggan PLN misalnya, integrasi itu tidak hanya berarti NIK bisa digunakan untuk memasuki database PLN.
Sebab bila hanya demikian, yang terjadi hanya substitusi nomor antar-database.
Integrasi data berarti PLN juga akan memiliki akses terhadap data di balik NIK, seperti alamat, tanggal lahir, status pernikahan, hingga pekerjaan.
Integrasi data inilah yang lebih sulit dibandingkan substitusi, karena mengharuskan adanya penggunaan data antar-instansi.
Dalam UU HPP, integrasi data antara NIK dan NPWP yang melibatkan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan diatur dalam pasal 2 ayat (10) dan pasal 44E ayat (1)
Dalam rangka penggunaan nomor induk kependudukan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1a), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri memberikan data kependudukan dan data balikan dari pengguna kepada Menteri Keuangan untuk diintegrasikan dengan basis data perpajakan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian data dalam rangka integrasi basis data kependudukan dengan basis data perpajakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (10) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Integrasi Data Balikan
Ada dua istilah penting yang disebut dari pasal 2 ayat (10) itu, yaitu
- Data kependudukan
- Data balikan
Data kependudukan adalah data yang terdapat di KTP seperti nama, tempat tanggal lahir, status menikah, agama dan pekerjaan.
Sedangkan data balikan adalah data dari masing-masing lembaga lain yang telah melakukan dan menggunakan data kependudukan.
Data balikan inilah yang terutama sangat penting diintegrasikan dengan basis data perpajakan.
Perlu disadari bahwa banyak lembaga menggunakan data kependudukan untuk kepentingan mereka. Ketika seseorang membuka rekening bank misalnya, perbankan ini akan mengecek di sistem apakah nasabah bersangkutan memiliki NIK yang tedaftar di dukcapil.
Ini menunjukkan perbankan juga memanfaatkan data kependudukan dukcapil.
Sebagai ganti pemanfaatan data tersebut, Dukcapil juga menerima data dari perbankan atas NIK tersebut. Inilah yang disebut data balikan (reverse data).
Dari sini, terlihat bahwa Dukcapil tidak semata memiliki data dasar kependudukan seperti nama, alamat, tempat dan tanggal lahir, tapi berbagai data lain yang dipasok melalui data balikan.
Ini juga sudah dijelaskan oleh Dirjen Dukcapil, Zudan Arif Fakrulloh dalam Rapat Forum Koordinasi Nasional Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan Semester II Tahun 2021 pada awal 3 Februari 2022 lalu.
Data balikan itu diterima Dukcapil antara lain dari PT Taspen, BPJS KEsehatan, maupun Badan Pusat Statistik.
Detil data mencakup pekerjaan, pendidikan, hingga status kawin-cerai, dan juga data-data lain.
Data balikan dari Dukcapil inilah yang menurut UU HPP harus diiintegrasikan dengan basis data perpajakan.
Dan untuk itu, dibutuhkan pengaturan melalui Peraturan Pemerintah (PP).
Sayangnya, ini belum terjadi.
Hingga kini belum terbit PP yang mengatur integrasi data balikan Dukcapil dengan basis data perpajakan.
Inilah juga alasan mengapa pada 2001 lalu Dirjen Pajak Hadi Poernomo melakukan hampir 100 lebih MoU (Memorandum of Understanding) dengan berbagai lembaga baik pemerintah maupun swasta seperti PLN, Badan Pertanahan dan sebagainya.
Tujuannya tiada lain meminta data balikan dari tiap lembaga tersebut guna membangun basis data perpajakan.
Dengan MoU dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) misalnya, akan terungkap apakah WP memiliki aset tanah atau tidak.
Bila WP yang memiliki aset tanah mengklaim miskin di SPT agar membayar pajak lebih kecil misalnya. DJP akan mudah membongkar kebohongan itu berdasarkan data balikan BPN.
Integrasi data balikan dari berbagai lembaga ini dengan NIK, dan kemudian menjadikan NIK sebagai nomor identitas pajak atau Tax identification Number (TIN) inilah yang sebenarnya merupakan esensi dari Single Identity Number (SIN).
Saat ini NIK yang sudah tervalidasi memang sudah bisa digunakan menggantikan NPWP.
Namun apakah integrasi data balikan dengan basis data perpajakan itu sudah terjadi? Mengapa hingga kini PP belum juga terbit?
Itulah hal esensial dalam konsep SIngle Identity Number yang seharusnya menjadi perhatian, tidak berhenti di fungsi NIK sebagai pengganti NPWP. (bsf)
KOMENTAR
Silahkan berikan komentar dengan baikTulis Komentar Anda :
TERPOPULER

-
PRODUK KOKEDAMA
Pot Hias Sabut Kelapa dari Malang Masuk Pasar Jepang