ANALISIS KASUS PAJAK

Utang Piutang Anies-Sandi, Adakah Konsekuensi Perpajakannya?

Dengan tambahan penghasilan Rp92 miliar Anies akan mendapatkan beban pajak Rp27,6 miliar.

By | Selasa, 14 Februari 2023 12:31 WIB

Anies Baswedan (membelakangi kamera) seusai mengucapkan salam perpisahan kepada warga Jakarta di Balai Kota, Gambir, Minggu (16/10/2022).
Anies Baswedan (membelakangi kamera) seusai mengucapkan salam perpisahan kepada warga Jakarta di Balai Kota, Gambir, Minggu (16/10/2022).

MEREBAKNYA perkara utang piutang antara Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno saat keduanya berpasangan dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017, yang melibatkan keluarga politisi Partai Golkar Aksa Mahmud dan Erwin Aksa, menarik untuk disimak.

Pasalnya, Anies adalah salah satu kandidat Presiden RI terkuat di Pemilu 2024, yang posisinya kini berlawanan secara diametral dengan Sandi, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pendukung setia kandidat Presiden lainnya, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.

Adakah konsekuensi perpajakan dari utang piutang itu? Kalau ada, apa yang harus dilakukan oleh Anies, Sandi, dan Aksa/Erwin. Apa pula kewajiban yang harus dilakukan Ditjen Pajak (DJP)? Atau cukup duduk manis diam saja karena perkara tersebut sudah daluwarsa? Atau diam karena sebab lain?




Perkara utang piutang yang melibatkan Anies-Sandi itu tertera dalam ‘Surat Pernyataan Pengakuan Hutang III’ yang diperoleh Belasting pekan lalu. Surat itu diteken Anies pada 9 Maret 2017, waktu antara Putaran I Pilgub DKI Jakarta pada 1 Februari 2017 dan Putaran II pada 19 April 2017.

Surat Pernyataan Pengakuan Hutang III yang diteken Anies itu sendiri adalah tambahan dari Surat Pernyataan Pengakuan Hutang I yang dibuatnya pada 2 Januari 2017 dan Surat Pernyataan Pengakuan Hutang II yang juga dibuatnya pada 2 Februari 2017.

Melalui Surat Pernyataan Pengakuan Hutang I, Anies meminjam Rp20 miliar ke Sandi. Pinjaman ini lalu bertambah lagi Rp30 miliar melalui Surat Pernyataan Pengakuan Hutang II. Terakhir, melalui Surat Pernyataan Pengakuan Hutang III, Anies kembali berutang Rp42 miliar. Total jenderal, Rp92 miliar.



“Saya mengakui meminjam uang kembali sebesar Rp42 miliar dari Pak Sandi tanpa jaminan dan tanpa bunga.. untuk keperluan pemenuhan kewajiban 70% dari total biaya pada Kampanye Putaran II Pilkada DKI DKI 2017..” tulis Anies dalam Surat Pernyataan Pengakuan Hutang III.

Dalam Surat Pernyataan Pengakuan Hutang III itu pula Anies sudah mengetahui bahwa pinjaman Rp42 miliar yang diterimanya dari Sandi berasal dari pihak ketiga. Anies juga tahu Sandi menjamin secara pribadi pembayaran kembali dana pinjaman tersebut kepada pihak ketiga bersangkutan.

Sebaliknya, Sandi juga mengetahui pinjaman Rp92 miliar itu bukan untuk kepentingan pribadi Anies, melainkan untuk dana kampanye Pilgub DKI 2017. Pasalnya, dana yang dijanjikan Aksa/Erwin menurut kesepakatan dengan Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Gerindra belum tersedia.

“Saya berjanji akan mengembalikan dan atau membantu upaya pengembalian dana pinjaman III itu jika saya dan Pak Sandi tidak terpilih.. Jika terpilih, Pak Sandi berjanji menghapuskan dana pinjaman I, II, III, dan membebaskan saya dari kewajiban untuk membayar kembali dana tersebut,” tulis Anies.

Sampai di sini rasanya sudah terang. Benar ada utang-piutang antara Anies-Sandi, yang dijamin Aksa Mahmud/Erwin Aksa. Namun, dengan terpilihnya pasangan Anies-Sandi pada Pilgub DKI Jakarta 2017, perkara utang-piutang tersebut selesai. Anies-Sandi tidak lagi terikat perjanjian utang-piutang.

Lalu bagaimana dengan konsekuensi perpajakannya? Adakah objek pajak dalam transaksi utang-piutang itu? Untuk membedah persoalan ini kita perlu melihat Pasal 4 ayat (1) huruf k UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat UU No. 3 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh):

“Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.”

Apa definisi ‘keuntungan karena pembebasan utang’? Simak bunyi Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf k:

Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya. Namun, dengan peraturan pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur kecil, misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai objek pajak.”

Singkatnya, dalam kasus utang-piutang Anies-Sandi, diperoleh pengertian bahwa pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang (Sandi) dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang semula berutang (Anies). Adapun bagi pihak yang berpiutang (Sandi) dapat dibebankan sebagai biaya.

Pada 5 Mei 2017 ketika Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta memenangkan Anies-Sandi sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, pada hari yang sama utang Anies kepada Sandi sebesar Rp92 miliar itu berubah menjadi penghasilan. Karena itu, Anies wajib mencatatnya dalam Surat Pemberitahuan (SPT).

Dengan tarif PPh orang pribadi progresif yang saat itu 30%, maka dengan tambahan penghasilan Rp92 miliar Anies akan mendapatkan beban pajak Rp27,6 miliar. Persoalannya, apakah ini dicatat Anies dalam SPT tahun pajak 2017? Kalau tidak dicatat, apakah DJP masih bisa menagihnya?

Pasal 13 ayat (1) huruf a UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyebutkan:

“Dirjen Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dalam jangka waktu 5 tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak setelah dilakukan pemeriksaan dalam hal terdapat pajak yang tidak atau kurang dibayar.”

Petunjuk pelaksanaan (juklak) Pasal 13 ayat (1) huruf a itu diatur secara terperinci dalam batang tubuh berikut penjelasan Pasal 20 Peraturan Pemerintah (PP) No. 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.

Dengan memahami PP No. 50 Tahun 2022 itu, kita tahu jika Anies mengirimkan SPT 2017 yang tidak mencatat penghasilan Rp92 miliar pada Februari 2018, Dirjen Pajak tentu bisa menerbitkan SKPKB. Paling lambat diterbitkan 31 Desember 2022 karena daluwarsanya dihitung sejak 1 Januari 2018.

Lalu, apakah itu berarti dengan sendirinya utang pajak Anies kepada negara sudah hangus karena lewat daluwarsa? Belum tentu. Masih ada Pasal 4 ayat (1) huruf p di UU PPh yang bisa ‘mengakali’ masa daluwarsa. Begini bunyinya:

“Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.”

Apa tambahan kekayaan neto ini? Simak pada bagian Penjelasan:

“Tambahan kekayaan neto pada hakikatnya merupakan akumulasi penghasilan baik yang telah dikenakan pajak dan yang bukan objek pajak serta yang belum dikenakan pajak. Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak dan yang bukan objek pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan.”

Tentu, pasal ini hanya bisa dipakai jika ada dua hal terpenuhi. Pertama, Anies tidak ikut tax amnesty jilid II pada semester I/2022. Kedua, Dirjen Pajak berani merilis SKPKB untuk Anies berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf p. Maklum, Anies adalah salah satu kandidat Presiden RI terkuat di Pemilu 2024.*



KOMENTAR

Silahkan berikan komentar dengan baik
Artikel yang jernih. Mana nih timnya Anies?
Joni Hutabarat | Jum'at, 17 Februari 2023 03:23 WIB
Analisanya terlalu dangkal. Sebelum membicarakan SPT WP OP. Transaksi hutang Anies harus dibuktikan terlebih dahulu aliran dananya. Apakah masuk ke rekening atas nama Anies (sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi) atau masuk ke rekening pihak-pihak lainnya. Hal ini penting sesuai dengan pengertian dari "tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak".
anonim | Kamis, 02 Maret 2023 07:22 WIB
Dangkal dengkulmu. Itu yang tanda tangan Anies bro.
Joko | Selasa, 28 Maret 2023 18:39 WIB

Tulis Komentar Anda :