Pertahankan Koreksi US$4,9 Juta Biaya Keamanan Freeport oleh TNI/Polri, Hakim: Wajib Dilaporkan dan Dipotong PPh 21
JAKARTA, BELASTING—Majelis I-A Pengadilan Pajak menangani sengketa pajak penghasilan (PPh) badan tahun pajak 2016 antara PT Freeport Indonesia sebagai pemohon banding dan Ditjen Pajak (DJP) sebagai terbanding.
Hakim Ketua Majelis I-A Budi Haritjahjono mengatakan seluruh sengketa pajak yang terjadi berkaitan dengan penghasilan neto perusahaan alias penghasilan yang dikenakan pajak. Dia menyebut ada 1 butir sengketa yang terjadi terkait biaya layanan police and military support yang diberikan kepada personel TNI/Polri.
Hakim Budi menjelaskan DJP melakukan koreksi fiskal positif atas biaya police and military support yang merupakan biaya layanan keamanan. Adapun koreksinya senilai US$4.940.258 atau US$4,9 juta.
“Menurut majelis terdapat MoU antara pemohon banding dengan pihak kepolisian dan pihak militer untuk memberikan dukungan keamanan terhadap lokasi usaha pemohon banding yang ditetapkan sebagai objek vital nasional atau obvitnas,” ujarnya, Senin (30/1/2023).
Hakim Budi menuturkan berdasarkan Pasal 3 pedoman pemberian dukungan dalam MoU tersebut, Freeport memberikan imbalan bersifat sukarela kepada TNI dan Polri. Diantaranya berupa dukungan sukarela tunjangan bulanan, biaya administrasi, transportasi, pengobatan, serta rekreasi personel.
Selanjutnya dalam Pasal 7 dan 8 MoU, diatur bahwa pemohon banding atau perusahaan tidak berwenang memerintah ataupun mengawasi kegiatan TNI dan Polri. Keduanya tetap melakukan dukungan keamanan pada tempat yang masuk kategori objek vital nasional (Obvitnas), namun kewajiban menjalankan misi dari masing-masing instansi.
Sejalan dengan itu, Hakim Budi menerangkan pemohon banding tidak berwenang menuntut kontraprestasi atau timbal balik yang berkaitan dengan kegiatan usaha perusahaan. Menurut majelis, keamanan di wilayah kerja tidak dapat dianggap berkaitan dengan kegiatan usaha.
Selain itu, Freeport tidak dapat melakukan pemotongan PPh Pasal 21, sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (4) dalam MoU, terkait pembayaran ke TNI dan Polri. Hal itu dikarenakan TNI dan Polri tidak terikat sebagai karyawan yang menerima penghasilan dari perusahaan.
Freeport Indonesia berpendapat tidak berhak mengatur masa penugasan, penempatan, hingga jenis penugasan TNI dan Polri, karena hal itu menjadi wewenang dari instansi. Oleh karena itu, keduanya berbeda dengan karyawan perusahaan.
Sejalan dengan itu, majelis menilai keberadaan TNI dan Polri dalam pengamanan tersebut tidak berdasarkan penugasan dari Freeport. Majelis juga menilai imbalan yang diterima polisi dan tentara seharusnya dibayarkan ke rekening yang bersangkutan, dan wajib dilaporkan. Kemudian diikuti dengan kewajiban pemotongan PPh Pasal 21 oleh PT Freeport Indonesia.
“Sebagaimana terkait pemohon banding lainnya yang non polisi dan TNI, imbalan yang diterima polisi dan tentara juga seharusnya dibayarkan ke rekening bersangkutan, dipungut PPh Pasal 21, dikeluarkan bukti potong, dan dilaporkan di SPT PPh Pasal 21 masing-masing pihak penerima,” kata Hakim Budi.
Kendati demikian, Hakim Budi mengatakan dokumen bukti yang diserahkan Freeport dalam persidangan itu kurang. Menurut Budi, Freeport tidak dapat membuktikan bahwa imbalan yang dibayarkan ke TNI dan Polri itu bukan tergolong sumbangan yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
“Majelis berpendapat menurut bukti, fakta dan penjelasan, tidak cukup bukti kuat dan meyakinkan majelis untuk mengabulkan banding pemohon banding, sehingga koreksi terbanding [DJP] atas layanan police and military support sebesar US$4.940.258 tetap dipertahankan,” tutup Hakim Ketua. (das)
KOMENTAR
Silahkan berikan komentar dengan baikTulis Komentar Anda :
TERPOPULER
-
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Berlaku Curang, Tiga Pompa SPBU di Jalur Mudik Kena Segel
-
PABRIK COREBOARD PAPER
Indonesia Royal Kantongi Izin Fasilitas Kawasan Berikat