JAKARTA, BELASTING – Pada Selasa, 7 Juni 2002, Bank Dunia merilis laporan Prospek Ekonomi Global Juni 2022.
Inti laporan itu adalah meningkatnya risiko stagflasi di berbagai negara dunia.
“Risiko stagflasi cukup besar, berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi [negara] berpenghasilan rendah dan menengah," kata Presiden Bank Dunia, David Malpass, seperti dilansir AFP.
Apa itu stagflasi?
Stagflasi (stagflation) adalah kombinasi antara stagnasi ekonomi (stagnation) dan inflasi (inflation), yaitu situasi ketika ekonomi mengalami perlambatan atau stagnan, tapi pada saat bersamaan inflasi tetap tinggi.
Ini kombinasi tidak lazim.
Deflasi, Inflasi dan Stagflasi
Lazimnya ketika perekonomian melambat, inflasi turun, bukan naik. Ini karena permintaan (demand) turun.
Bila tidak segera diatasi, penurunan permintaan ini bisa menyebabkan deflasi, yaitu turunnya harga-harga.
Di tahap awal deflasi, konsumen akan senang karena harga barang-barang turun. Tapi lama-lama, mereka akan sadar deflasi membawa masalah baru, yaitu pengangguran.
Dunia usaha akan mengurangi produksi agar tetap bertahan di tengah turunnya permintaan.
Namun, bila deflasi tidak bisa dilawan dengan pengurangan produktivitas, tahap berikutnya adalah memberhentikan pekerja. Alias PHK.
Deflasi yang terlalu lama akan berujung pada pengangguran, PHK massal, dan akhirnya resesi.
Indonesia pernah mengalami deflasi di tahun pertama pandemi, bahkan selama tiga bulan berturut-turut, yaitu Juli, Agustus dan September 2020.
Meski kecil, hanya 0,1% pada Juli, lalu 0,05% pada Agustus-September.
Deflasi itu karena pandemi Covid-19 menyebabkan penurunan permintaan di sektor pariwisata, perhotelan, restoran, hiburan dan sebagainya. Juga karena faktor pengetatan mobilitas.
Sektor-sektor usaha itu pun banyak melakukan PHK.
Lantas, stagflasi?
Sama dengan fenomena perlambatan atau stagnasi ekonomi pada umumnya.
Hanya bedanya, ketika ekonomi stagnan, yang terjadi bukan deflasi, melainkan inflasi.
Stagflasi termasuk fenomena baru
Stagfalasi adalah fenomena yang mulai populer pada tahun 1970an.
Awalnya, teori ekonomi klasik selalu mengaitkan stagnasi ekonomi dengan deflasi.
Namun pada 1973, fenomena baru terjadi. Yaitu ekonomi melambat, tapi lucunya harga-harga tetap tinggi.
Istilah stagflasi pun populer, didukung dengan berbagai teori baru.
Stagflasi ini terjadi di Amerika Serikat, tepatnya pada 1973. Lebih populer dengan istilah krisis minyak 1973 (1973 oil crisis)
Stagflasi 1973-1975 di AS
Stagflasi di AS dipicu oleh perang Arab-Israel pada 1973.
Perang itu dimenangkan Israel yang berhasil merebut dataran tinggi Golan dari Suriah.
Negara-negara Arab tidak terima karena kemenangan itu disebabkan bantuan militer AS dan para sekutunya di Eropa.
Negara-negara pengekspor minyak, OPEC, pun membalas dengan menjadikan minyak sebagai senjata.
OPEC mengumumkan embargo minyak terhadap AS dan para sekutunya di Eropa.
Hasilnya, stagflasi terjadi di AS selama dua tahun, 1973 hingga 1975.
Ibarat mobil, ekonomi AS yang tadinya berjalan normal seketika kena “rem mendadak” setelah diembargo.
Ini karena AS masih tergantung pada suplai minyak di Timur Tengah.
Harga minyak dunia naik gila-gilaan, dari tadinya US$2,90 per barel pada 1972 menjadi US$11,65 per barel pada 1974, alias meningkat empat kali lipat.
Kenaikan harga minyak itu berdampak pada semua sektor usaha di AS.
Harga BBM naik, biaya produksi naik, dan harga barang-barang naik.
Inflasi di AS meroket, dari tadinya 3,3% pada 1972 menjadi 11,1% pada 1974.
Ekonomi melambat, tapi harga-harga tinggi. Inilah stagflasi.
Dampaknya memang sama seperti resesi yang disebabkan oleh deflasi.
Kenaikan harga barang-barang akan menyebabkan permintaan turun.
Hanya, meski permintaan turun, harga tidak akan turun.
Pasalnya dalam stagflasi, harga tetap tinggi karena kenaikan tidak disebabkan oleh faktor permintaan, melainkan oleh disrupsi pasokan.
Namun bagi dunia usaha, dampaknya tetap sama. Produktivitas akan dikurangi, dan akhirnya PHK agar bisnis tetap bertahan. Stagflasi juga berujung pada pengangguran massal.
Selama stagflasi 1973-1975, tingkat pengangguran di AS pun meningkat dua kali lipat, dari tadinya 4,9% pada 1973 menjadi 8,5% pada 1975.
Rilis Bank Dunia soal Stagflasi
Laporan Bank Dunia berjudul Prospek Ekonomi Global Juni 2022 itu memperingatkan berbagai negara akan bahaya fenomena stagflasi tahun 1970an, yang berpotensi terulang kembali.
Hanya kali ini penyebabnya bukan embargo minyak OPEC, melainkan perang Rusia-Ukraina, lockdown di Cina, dan berbagai faktor disrupsi pasokan lain.
Bagaimana dengan Indonesia?
Risiko Stagflasi di Indonesia
Sebelum perang Rusia-Ukraina terjadi, Indonesia sebenarnya sudah mulai mengalami inflasi.
Tapi --selain karena pandemi yang mulai reda-- penyebabnya lebih karena faktor internal, yaitu keputusan pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% jadi 11% per April 2022, lalu kelangkaan minyak goreng sejak akhir 2021.
Perang Rusia-Ukraina yang meletus pada Februari 2022 tak pelak ikut menambah inflasi.
Pertamina pun menaikkan BBM (nonsubsidi) hingga dua kali dalam sebulan, yaitu pada 12 Februari 2022, lalu pada 1 April 2022.
Ditambah lagi bulan April 2022 masyarakat memasuki bulan Ramadhan, yang lazimnya ditandai dengan tingginya permintaan,
Semua faktor pendorong inflasi itu tumpek blek di April, yang membuat inflasi April mencapai 3,47%, tertinggi sejak Agustus 2019.
Inflasi ini melesat jauh dibanding inflasi Maret 2022 yang hanya 2,64%.
Tapi pada Mei, setelah Lebaran lewat, apakah inflasi turun?
Secara tahunan, inflasi Mei 2022 justru meningkat jadi 3,55%, lebih tinggi dibandingkan April.
Ini menunjukkan Indonesia tidak lepas dari resiko stagflasi.
Belum lagi bila pemerintah jadi menaikkan harga BBM Pertalite atau elpiji 3 kilogram –rencana yang ditentang banyak ekonom.
Tapi mudah-mudahan rencana itu batal.
Yang dikorbankan dalam stagflasi
Para ekonom lazimnya lebih mengkhawatirkan deflasi daripada stagflasi.
Karena dampak deflasi lebih parah dan meluas, dan betul-betul memasuki resesi.
Sebaliknya, stagflasi lebih menyebabkan ekonomi stagnan, namun tidak sampai terjun ke jurang resesi.
Meski demikian tetap ada yang “dikorbankan” atau menjadi “korban” dalam situasi stagflasi.
Yaitu masyarakat kelas menengah bawah, warga miskin, atau kelas menengah yang tidak cukup kuat bertahan menghadapi kenaikan harga.
Sebab dalam stagflasi, pendapatan warga tetap, tapi harga-harga terus melesat hingga tidak lagi terjangkau.
Warga masyarakat yang tidak mampu menghadapi kenaikan harga inilah yang akan menjadi korban stagflasi. (bsf)
KOMENTAR
Silahkan berikan komentar dengan baikTulis Komentar Anda :
TERPOPULER
-
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Berlaku Curang, Tiga Pompa SPBU di Jalur Mudik Kena Segel
-
PABRIK COREBOARD PAPER
Indonesia Royal Kantongi Izin Fasilitas Kawasan Berikat