SUKU BUNGA ACUAN

Apa Arti Kenaikan Suku Bunga BI jadi 4,25%?

Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan dengan trade off pertumbuhan ekonomi.

By | Rabu, 28 September 2022 16:57 WIB

Foto ilustrasi.
Foto ilustrasi.

PADA 22 September 2022 lalu, Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan atau BI 7 Day Reverse Repo Rate (B17DRR) dari 3,75% jadi 4,25%.

Ini kenaikan keduanya kali selama dua bulan berturut-turut. Sebelumnya pada 23 Agustus 2022, BI juga menaikkan suku bunga dari 3,50% ke 3,75%.

Yang berarti, baru sebulan suku bunga acuan 3,75% berjalan, pada September sudah dinaikkan lagi menjadi jadi 4,25%.




Lompatan dari suku bunga 3,50% (Agustus 2022) ke 4,25% (September 2022) yang hanya berlangsung dalam satu bulan adalah sebuah isyarat.

Yaitu, Indonesia mulai memasuki kebijakan moneter ketat, alias suku bunga tinggi.

Sekadar informasi, sebelumnya selama 16 bulan, persisnya sejak Maret 2020, suku bunga acuan tidak berubah, tetap di angka 3,5%.



Baru pada Juli 2022 status quo itu berubah. Naik jadi 3,75%, lalu naik lagi jadi 4,25%.

Apakah suku bunga BI akan terus naik?

Kemungkinan itu ada, tergantung situasi ekonomi. Bila inflasi makin tinggi, tidak tertutup kemungkinan suku bunga kembali naik.

Mengapa suku bunga acuan naik?
Kenaikan suku bunga erat kaitannya dengan pengendalian inflasi.

Sebelumnya BPS melaporkan bahwa pada Agustus 2022, inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) mencapai 4,69% year-on-year (yoy),

Tapii bila di-breakdown secara lebih rinci, inflasi Agustus 2022 sebagai berikut:

Inflasi harga barang bergejolak (volatile goods) 8,93%
Inflasi harga diatur pemerintah (administered price) 6,84%
Inflasi inti 3,04%

Sumber: BPS

Inflasi volatile goods adalah inflasi atas harga barang/jasa yang pergerakannya naik turun atau bergejolak (volatile). Bahan makanan adalah komponen utama inflasi ini.

Inflasi volatile goods 8,93% artinya harga berbagai bahan makanan lebih mahal 8,93% dibandingkan dengan harga tahun lalu.

Inflasi administered price adalah inflasi atas harga barang yang harganya diatur pemerintah, seperti BBM dan tarif angkutan udara.

Sedangkan inflasi inti adalah inflasi yang bersifat menetap, persisten, sulit berubah karena ditentukan oleh faktor fundamental ekonomi seperti hukum permintaan-penawaran.

Inflasi volatile goods memang naik-turun. Pada Juli 2022 misalnya, inflasi volatile goods berada padaangka 10,32%, baru pada Agustus turun menjadi 8,93%.

Namun dengan inflasi inti 3,04%, artinya seberapa pun inflasi volatile goods berubah, ia tetap akan di atas 3,04%.

Ini karena inflasi 3,04% merupakan inflasi inti, persisten.

BI mulai khawatir dengan pergerakan inflasi ini, hingga memutuskan menaikkan suku bunga ke 4,25%.

Kekhawatiran ini tentu tidak semata karena faktor domestik, tapi juga menghitung kondisi perekonomian global.

BI mengantisipasi inflasi akan terus naik sampai 2023, hingga suku bunga acuan dinaikkan untuk mengerem kecenderungan negatif tersebut.

"Keputusan kenaikan suku bunga ini sebagai langkah forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi dan memastikan inflasi inti kembali ke sasaran 3,0% plus minus 1% pada paruh kedua 2023," kata Gubernur BI, Perry Warjiyo dalam keterangannya, Kamis (22/9/2022).

Bagaimana kenaikan suku bunga menurunkan inflasi?
Kebijakan suku bunga sering diibaratkan rem dalam mobil pertumbuhan ekonomi.  Fungsinya membuat mobil yang melaju kencang melambat atau berhenti sama sekali.

Suku bunga tinggi berarti BI menginjak rem lebih dalam.

Dengan suku bunga tinggi, cost of fund perbankan akan naik, hingga menyebabkan suku bunga perbankan naik. Dampaknya, kredit perbankan ke masyarakat sektor usaha akan berkurang, membuat peredaran uang berkurang dan pertumbuhan ekonomi melambat.

Tapi dampak positifnya, berkurangan peredaran uang akan membuat inflasi turun.

Inflasi versus pertumbuhan
Keputusan menaikkan suku bunga acuan bukan tanpa dampak negatif. Relasi antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi bersifat trade off.

Artinya, bila menaikkan suku bunga (mengendalikan inflasi), dampak negatifnya pertumbuhan ekonomi akan melambat.

Daya beli masyarakat juga akan terdampak. Ini karena kenaikan suku bunga BI memicu kenaikan suku kredit seperti kredit kepemilikan rumah dan kendaraan bermotor.

Mereka yang mengambil KPR atau kredit kendaraan bermotor akan membayar cicilan lebih mahal karena suku bunga kredit naik.

Tapi sebaliknya, bila inflasi tidak dikendalikan, pertumbuhan ekonomi akan terus melaju namun dengan ongkos berupa harga-harga yang makin tinggi.

Bila opsi pertumbuhan diambil, maka kelas menengah bawah tidak akan bisa bertahan menghadapi kenaikan harga. Apalagi inflasi volatile goods yang terutama terdiri atas bahan makanan. Harga pangan akan makin mahal dan tidak terjangkau.

Hampir tidak ada negara yang mengambil opsi ini. Amerika Serikat juga memilih menaikkan suku bunga (mengendalikan inflasi) meski ongkos perlambatan ekonomi membuat AS berisiko memasuki resesi.

Karena itu tidak heran bila Menteri Keangan Sri Mulyani pernah menyebut trade off ini sebagai buah simalakama.

Mana yang hendak dipilih? Mengendalikan inflasi dengan risiko pertumbuhan ekonomi melambat? Atau membiarkan inflasi tidak terkendali hingga pertumbuhan ekonomi tetap melaju, tapi dengan ongkos kelas menengah bawah dikorbankan?

Jawabannya jelas. Negara tidak bisa hanya memprioritaskan kelas menengah dan kelas atas. Semua lapisan masyarakat harus diselamatkan.

Membiarkan inflasi tidak terkendali demi mengejar pertumbuhan berarti mengorbankan kelompok tertentu.

Bisakah kenaikan suku bunga BI mengendalikan inflasi?
Ini sebenarnya pertanyaan besarnya. Sebab, tingginya inflasi kali ini bukan disebabkan oleh banyaknya uang beredar di masyarakat, melainkan lebih karena faktor eksternal seperti perang Rusia-Ukraina yang menyebabkan disrupsi pada rantai pasok global.

Sejauh mana efektivitas kenaikan suku bunga BI dalam mengendalikan inflasi masih harus diuji. (bsf).



KOMENTAR

Silahkan berikan komentar dengan baik

Tulis Komentar Anda :