TAJUK PAJAK

PPN, Sikap Kadin & Pajak Karbon

Tak ada satu pun warga yang dengan bahagia, ikhlas dan sukarela dipungut paksa uangnya oleh negara.

By | Rabu, 30 Maret 2022 12:23 WIB

Ketua Umum Kadin Arsjad Rasjid (kiri) saat menggelar konferensi pers untuk mendukung kenaikan tarif PPN (Foto: Instagram Kadin)
Ketua Umum Kadin Arsjad Rasjid (kiri) saat menggelar konferensi pers untuk mendukung kenaikan tarif PPN (Foto: Instagram Kadin)

DI SELURUH dunia ini, mungkin hanya Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, yang dengan amat bersemangat mendukung kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN). Menurut rencana, kenaikan tarif itu akan berlaku mulai 1 April 2022 atau tepat 2 hari menjelang momentum ramadhan.

Saking bersemangatnya, Kadin sampai menggelar konferensi pers resmi yang mendukung langkah penaikan tarif PPN itu, dari 10% menjadi 11%. Bagaimana bisa Kadin mendukung kenaikan tarif PPN, sementara sifat alamiahnya selaku pelaku usaha niscaya menolak kenaikan tarif pajak?

Kami sendiri percaya, sesuai dengan sifat alamiah manusia, tidak ada satu pun warga negara yang dengan bahagia, ikhlas dan sukarela bersedia dipungut uangnya secara paksa oleh negara. Tentu, kita bisa bayangkan, alangkah bahagianya pemerintah yang memiliki Kadin seperti Kadin Indonesia.




“Walaupun situasi perdagangan global yang kurang kondusif, dan berimbas pada kenaikan inflasi global, Kadin Indonesia sebagai organisasi yang mewadahi para pelaku usaha berbagai sektor di Indonesia mendukung kenaikan PPN ini,” kata Ketua Umum Kadin Arsjad Rasjid.

Arsjad, laiknya pejabat humas pemerintah, juga menjelaskan kenaikan PPN merupakan upaya meningkatkan penerimaan dan menekan defisit APBN maksimal 3% pada 2023, yang juga mencerminkan semangat gotong royong untuk membiayai pembangunan dan pemulihan ekonomi yang lebih adil dan merata.

Tentu saja, ia berhak bicara seperti itu. Begitu pula Ajib Hamdani, anggota Kadin Bidang Kebijakan Moneter dan Jasa Keuangan, yang 2 hari sebelum konferensi pers Arsyad, dengan tegas mengatakan penaikan tarif PPN itu tidak ideal, karena daya beli warga belum pulih ditandai inflasi yang melandai.



Menurut Ajib, pemerintah menargetkan agregat pertumbuhan ekonomi 2022 antara 4,8%-5,5%. Kondisi ini menunjukkan ekonomi masih berada dalam masa transisi, dari pandemi menuju endemi. Karena itu, bila kenaikan PPN diterapkan pada April 2022, akan sangat memukul daya beli warga.

Pemerintah idealnya menunggu sampai tiba waktu yang tepat, ketika pertumbuhan ekonomi stabil di atas 5% dan inflasi cukup tinggi. Pengusaha juga memiliki parameter kapan waktu ideal itu. “Idealnya kenaikan tarif PPN dilakukan ketika ekonomi di atas 5% dan inflasi 3%,” katanya.

Jelas sekali, di tengah dominasi pemerintah terutama Presiden Joko Widodo di berbagai bidang pada hari-hari ini, suara Ajib itu tidak terdengar lebih kencang ketimbang suara Arsyad, terutama di telinga Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Ketua DPR Puan Maharani, atau Presiden Joko Widodo.

Namun, apa benar Kadin betul-betul pro dengan upaya meningkatkan penerimaan dan menekan defisit APBN maksimal 3% pada 2023? Kalau iya, mari kita uji. Bagaimana sikap Kadin terhadap pengenaan bea keluar ekspor batu bara untuk meningkatkan penerimaan? Mumpung harga batu bara lagi tinggi.

Kalau jawabannya tidak atau kontra, berarti dukungan Kadin terhadap kenaikan tarif PPN untuk meningkatkan penerimaan dan menekan defisit APBN maksimal 3% pada 2023, sangat boleh dan sah kita katakan sebagai klaim semata. Atau dengan kata lain, nonsense.

Karena itu, dukungan Kadin itu jelas tidak gratis, dan dalam bisnis memang tidak ada makan siang gratis. Pasti ada sesuatu yang sudah diberikan pemerintah kepada Kadin. Imbal baliknya, Kadin memberikan dukungan kenaikan tarif PPN itu kepada pemerintah. Inilah logika yang paling masuk akal sehat.

Lalu apa yang sudah diberikan pemerintah kepada Kadin? Apakah penurunan tarif pajak penghasilan? Apakah pengampunan pajak jilid II atau program pengungkapan sukarela, yang oleh Dirjen Pajak Suryo Utomo kita diyakin-yakinkan untuk bisa membedakannya dengan tax amnesty?

Sebab yang pasti, di saat pemerintah konsisten dengan kenaikan tarif PPN pada 1 April 2022 seperti diatur UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), pada saat yang sama pemerintah malah inkonsisten dengan pengenaan pajak karbon yang juga dimulai 1 April 2022.

Kalau tarif PPN tetap dinaikkan menjadi 11%, tetapi pajak karbon—yang wajib pajaknya korporasi-korporasi besar, malah ditunda. Alasannya, menunggu peraturan presiden yang juga akan mengatur hal yang berkaitan dengan pajak karbon. Bagi kami, sama seperti alasan Kadin, ini juga nonsense.

Sejak kapan perumusan peraturan menteri keuangan harus menunggu peraturan presiden, selama materi yang akan diatur peraturan menteri keuangan itu sudah menjadi mandat UU? Materi pajak karbon ini diatur di Pasal 17 ayat (3) UU HPP. Kami kutipkan bunyinya secara utuh:

“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022, yang pertama kali dikenakan terhadap badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uap batu bara dengan tarif Rp30 per kg karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.”

Itu berarti, Kamis malam (31/3/2022) menjelang 1 April 2022, kita akan melihat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) pengganti UU HPP untuk menunda penerapan pajak karbon. Ingat, cuma pajak karbon saja, bukan kenaikan tarif PPN yang dengan sangat bersemangat didukung Kadin! (Bsi)



KOMENTAR

Silahkan berikan komentar dengan baik

Tulis Komentar Anda :