TAJUK PAJAK

Menuju Tax Ratio Di Atas 11%

Dengan tax ratio tinggi, DPR membantu pemerintah keluar dari jerat utang, bukan malah memupuknya.

By | Jum'at, 10 Juni 2022 16:20 WIB

Ilustrasi.
Ilustrasi.

PEMERINTAH dan DPR akhirnya merespons perkembangan terbaru perekonomian ke dalam anggaran tahun berjalan. Keduanya menilai perkembangan tersebut telah mengubah asumsi makro APBN 2022, terutama harga minyak, yang akhirnya memengaruhi asumsi makro lainnya.

Setelah melalui serangkaian pembahasan, keduanya menyepakati perubahan asumsi harga minyak menjadi US$100 per barel dari target APBN 2022 sebesar US$63 per barel. Ini kenaikan yang cukup signifikan. Maklum, APBN 2022 disusun pada semester I/2021, sebelum situasi berubah.

Dengan perubahan harga minyak tersebut, postur anggaran pun otomatis berubah. Volume belanja dikerek naik menjadi Rp3.106 triliun dari target APBN 2020 sebesar Rp2.714 triliun. Perinciannya, belanja kementerian/lembaga (K/L) Rp945,8 triliun dan belanja non-K/L Rp1.355,9 triliun.




Adapun pendapatan dipatok Rp2.266 triliun dari semula Rp1.846 triliun. Sumbernya terutama penerimaan perpajakan Rp1.784 triliun dan penerimaan negara bukan pajak Rp481 triliun. Dengan begitu, defisit turun menjadi Rp840 triliun atau 4,5% dari semula Rp868 triliun atau 4,89% dari PDB.

Lalu bagaimana dengan penerimaan pajak? APBN 2022 mematok target penerimaan pajak Rp1.265 triliun. Besar kemungkinan, target yang sangat rendah ini, karena memang lebih rendah dari realisasi penerimaan pajak 2022 sebesar Rp1.277 triliun, akan dikerek naik menjadi Rp1.485 triliun.

“Kalau boleh jujur, ini dampak dari peningkatan harga komoditas, seperti batu bara, nikel, juga crude palm oil. Saya tidak menutup mata harga komoditas betul-betul luar biasa, di Pak Lucas [Kepala Kanwil DJP Jakarta Selatan I] capaiannya sudah 63%,” kata Dirjen Pajak Suryo Utomo, pekan lalu.



Sejauh pengetahuan kami, kali terakhir target penerimaan pajak dinaikkan di tengah tahun adalah pada 2006. Saat itu, target penerimaan pajak dikerek naik Rp8 triliun menjadi Rp333 triliun. Namun, sejak 2006 itu pula tradisi shortfall penerimaan dimulai dan bertahan sampai 2020, kecuali pada 2008.

Padahal, setelah 2006 itu, setiap tengah tahun target penerimaan pajak selalu diturunkan. Bahkan juga saat booming komoditas pada 2007-2008. Pada 2007, target penerimaan pajak diturunkan Rp16 triliun menjadi Rp395 triliun, sedangkan pada 2008 diturunkan Rp3 triliun menjadi Rp481 triliun.

Hanya, semua perubahan anggaran itu ditempuh melalui mekanisme UU Perubahan APBN. Kali ini, pada booming komoditas 2021-2022, tampaknya cukup ditempuh melalui peraturan presiden seperti diatur UU APBN 2022. Lalu, apa yang bisa kita simpulkan dari perubahan postur anggaran ini?

Pertama, otoritas fiskal tidak boleh mengubah kembali target defisit 2023 di bawah 3% terhadap PDB. Tidak boleh ada pikiran mengubah kembali target yang ditetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2020. Perubahan anggaran tahun berjalan ini harus konsisten dengan target tersebut.

Karena itu, otoritas fiskal harus all out menggarap semua lini penerimaan. Mulai dari penambahan barang kena cukai, perluasan basis pajak, menggarap reformasi pengawasan melalui bank data pajak dan single identity number, dan seterusnya seperti yang diinstruksikan Menkeu dalam Rapim DJP lalu.

Kedua, otoritas fiskal harus menjadikan momentum perubahan anggaran tahun berjalan ini menjadi momentum untuk mengangkat kembali tax ratio yang masih single digit alias sangat rendah. Hanya dengan tax ratio yang tinggi, target defisit di bawah 3% terhadap PDB pada 2023 itu bisa tercapai.

Apabila target penerimaan pajak tahun ini Rp1.485 triliun tercapai, ditambah dengan penerimaan Ditjen Bea Cukai, otomatis tax ratio akan terangkat menjadi dua digit, alias sudah lebih dari 10%. Modal ini tentu dapat dimanfaatkan lagi untuk mengungkit tax ratio pada 2023 menjadi lebih dari 11%.

Pemerintah harus meng-address isu ini di pembahasan APBN 2023. DPR juga harus menyinggungnya, bukan melulu mengusulkan insentif fiskal pengusaha. DPR harus menyinggung pelaksanaan reformasi pengawasan untuk menggenjot tax ratio, bukan hanya berapa bonus yang diperoleh DJP jika penerimaan tercapai.

Dengan kata lain, DPR jangan berpatokan pada target tax ratio yang sangat konservatif buatan Badan Kebijakan Fiskal, yang disusun jauh sebelum booming komoditas. Dengan menetapkan target tax ratio yang tinggi, DPR justru membantu pemerintah untuk keluar dari jerat utang, bukan malah terus memupuknya. (Bsi)



KOMENTAR

Silahkan berikan komentar dengan baik

Tulis Komentar Anda :