TAJUK PAJAK

Piutang Pajak, Oh Piutang Pajak

Masalah piutang pajak yang sangat signifikan ini harus dituntaskan setuntas-tuntasnya!

By | Sabtu, 18 Juni 2022 06:25 WIB

Ilustrasi.
Ilustrasi.

DI TENGAH ramainya pemberitaan media tentang resafel kabinet pekan lalu, terutama atas kursi baru bagi Partai Bulan Bintang dan Partai Amanat Nasional, berita penting ini seolah redup dan terlupakan: Soal piutang pajak yang daluwarsa alias hangus dan piutang pajak yang ‘macet’.

Nilainya tidak tanggung-tanggung. Untuk piutang pajak yang daluwarsa, sampai 31 Desember 2021, nilainya Rp710,15 miliar. Untuk piutang pajak yang kualitasnya ‘macet’ pada periode sama, nilainya Rp24,79 triliun. Bagaimana ini bisa terjadi? Ada apa dengan Ditjen Pajak (DJP)?

Itu tentu jumlah yang besar. Kalau menggunakan analogi Menkeu Sri Mulyani Indrawati saat menunjukkan besarnya anggaran Covid-19, jumlah piutang pajak yang daluwarsa dan macet itu setara dengan membangun jalan 1.870 km, atau jembatan sepanjang 58.644 m, atau 13.541 unit sekolah, dst..




Data Penyisihan Piutang Pajak milik pemerintah menyebutkan saldo piutang pajak daluwarsa dalam 3 tahun terakhir ini meningkat sangat signifikan. Pada 2021, ada 2,4 juta ketetapan pajak senilai Rp7,69 miliar yang daluwarsa, naik dari tahun sebelumnya 6.984 ketetapan senilai Rp117,07 juta.

Klaim pemerintah ini kemudian diuji oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hasilnya mengagetkan. BPK menyimpulkan Kementerian Keuangan belum memaksimalkan tindakan penagihan, sehingga piutang pajak yang tidak tertagih menjadi daluwarsa, alias hangus dan tidak dapat ditagih lagi.

Berapa piutang pajak yang daluwarsa? BPK memerinci 3 temuannya. Pertama, ada dua ketetapan pajak Rp17,89 juta. Kedua, ada 9 ketetapan Rp923,07 juta. Ketiga, ada 4 SPPT PBB Rp709,21 miliar. Total jenderal, Rp710,15 miliar piutang pajak daluwarsa alias hangus dan tidak bisa ditagih lagi.



Cerita soal piutang pajak daluwarsa ini mirip piutang pajak ‘macet’. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2021 (audited) menyebut saldo piutang pajak 2021 mencapai Rp115,67 triliun, naik Rp14,19 triliun dari sebelumnya Rp101,48 triliun. Saldo piutang pajak yang jumbo ini memang terus membengkak.

Dari Rp115,67 triliun tadi, yang terpaksa disisihkan karena sudah tidak bisa ditagih Rp43,27 triliun. Jumlah ini naik Rp2,36 triliun dari tahun sebelumnya Rp40,90 triliun. Dengan demikian, piutang neto yang dapat ditagih Rp72,40 triliun, naik Rp11,82 triliun dari tahun sebelumnya Rp60,57 triliun.

Dari piutang neto yang dapat ditagih sebesar Rp72,40 triliun tadi, piutang yang kualitasnya dikategorikan ‘macet’ mencapai Rp24,79 triliun. Nah, di sinilah masalahnya mulai muncul. Dari sini pula terlihat bagaimana aparat DJP memperlakukan piutang pajak yang kategorinya ‘macet’ itu.

Hasil pemeriksaan BPK mengungkapkan aparat DJP ternyata tidak melakukan tindakan penagihan yang memadai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terhadap piutang 'macet' sebesar Rp20,84 triliun dari total piutang 'macet' sebesar Rp24,79 triliun tersebut.

Ada 1.713 ketetapan pajak senilai Rp2,18 triliun yang bahkan sama sekali belum dilakukan penagihan alias dibiarkan begitu saja. Ada 4.905 ketetapan Rp3,68 triliun yang sudah diterbitkan surat teguran, tetapi tidak diikuti surat paksa dan penyitaan aset. Jadi, meski macet, hanya direspons dengan surat teguran.

Lalu ada 13.547 ketetapan pajak Rp14,07 triliun yang sudah diterbitkan surat paksa, tetapi tidak diikuti dengan penyitaan. Sisanya, 934 ketetapan senilai Rp0,92 triliun yang disita alias sudah terbit Surat Perintah Melakukan Penyitaan, tetapi realisasi pelunasannya masih minim.

Kondisi ini bertentangan dengan Pasal 22 UU No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Kemudian Pasal 8 ayat (1), Pasal 10 ayat (1), Pasal 11, Pasal 12 ayat (1), dan Pasal 13 UU No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Juga Pasal 4 ayat (1) PMK No. 189/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak atas Jumlah Pajak yang Masih Harus Dibayar. “Permasalahan tersebut mengakibatkan potensi kehilangan penerimaan pajak minimal Rp20,84 triliun..” ungkap audit BPK.

Hasil audit itu juga mengungkapkan secara jelas 4 penyebab permasalahan tersebut. Pertama. DJP tidak optimal dalam melakukan tindakan penagihan dengan tidak menyampaikan Surat Paksa dan melakukan penyitaan. Kedua, DJP tidak optimal dalam melakukan pengawasan berjenjang.

Ketiga, DJP belum mengembangkan pengendalian sistemik pada SIDJP (Sistem Informasi DJP) yang otomatis memberikan notifikasi atas ketetapan pajak yang menjadi prioritas penagihan khususnya yang akan daluwarsa. Keempat, DJP belum mengintegrasikan sistem penagihan piutang PBB dengan SIDJP.

Kita prihatin dengan situasi ini. Setiap tahun, para pembayar pajak sudah memberikan uang triliunan untuk gaji tinggi 45 ribu lebih pegawai DJP, dan membiayai ratusan program DJP lainnya. Tidak ada kata lain: Masalah piutang pajak yang sangat signifikan ini harus dituntaskan setuntas-tuntasnya! (Bsi)



KOMENTAR

Silahkan berikan komentar dengan baik

Tulis Komentar Anda :