TAJUK

Menakar Risiko Resesi Indonesia

Satu survei mengindikasikan risiko Indonesia jatuh ke liang resesi sangat rendah. Benarkah?

By | Jum'at, 15 Juli 2022 13:48 WIB

Seorang pedagang dan pembeli beraktivitas di salah satu pasar tradisional di Jakarta, beberapa waktu lalu. (Ilustrasi)
Seorang pedagang dan pembeli beraktivitas di salah satu pasar tradisional di Jakarta, beberapa waktu lalu. (Ilustrasi)

SALAH SATU akibat dari meletusnya perang Rusia-Ukraina yang sudah berjalan hampir 4 bulan ini tidak lain adalah terganggunya pasokan energi dan pangan global. Maklum, kombinasi Rusia bersama Ukraina adalah eksportir minyak bumi, gas, sekaligus gandum terbesar kedua dunia.

Sejalan dengan gangguan pasokan itu, harga energi dan pangan pun serta-merta terangkat. Kenaikan harga minyak, gas, dan gandum juga mengerek naik harga komoditas lain seperti minyak sawit mentah, batu bara, juga komoditas atau bahan tambang seperti karet, nikel, besi, atau alumunium.

Di sejumlah negara bahkan, kenaikan harga energi dan pangan itu telah memicu hiperinflasi, seperti yang terjadi di Sri Lanka, Turki atau Argentina. Beberapa negara lain yang ketahanan ekonominya keropos karena defisit transaksi berjalan dan defisit anggaran yang terlampau besar, juga mulai ketar-ketir.




Atas situasi tersebut, dipimpin oleh Federal Reserves, bank-bank sentral di hampir seluruh dunia ramai-ramai meresponsnya dengan mengerek suku bunga. Akibatnya, likuiditas global pun menyusut, nilai tukar dolar menguat, dan pertumbuhan ekonomi di berbagai negara serta-merta melembam.

Hasil dari semua respons kebijakan itu tidak lain adalah stagflasi, yakni fenomena inflasi tinggi, tetapi dengan pertumbuhan ekonomi yang terkoreksi. Ibarat ramalan bintang, sekarang jangan buka pabrik dulu deh, lebih baik menabung. Sebab, ada risiko besar stagflasi ini akan berakhir menjadi resesi.

Demikianlah. Perang yang sangat mengejutkan akibat provokasi Ukraina bergabung ke North Atlantic Treaty Organization (NATO)—mirip saat Uni Soviet ingin menaruh rudal jarak jauhnya di Kuba pada 1962 di zaman Presiden Kennedy—itu telah mengubah bopeng wajah perekonomian global.



Krisis akibat pandemi Covid-19 yang menghantam ekonomi global sejak 2 tahun silam serta-merta berubah dan menjelma jadi krisis energi dan pangan akibat perang Rusia-Ukraina. Krisis terbaru ini jelas berbeda dengan krisis keuangan global 2008. Saat ini, sistem keuangan global baik-baik saja.

Namun meski penyebabnya berbeda, dampak yang dihasilkan dua krisis itu hampir sama, yakni naiknya harga energi dan pangan, yang mengerek inflasi dan direspons dengan pengetatan moneter. Itulah yang sedang terjadi saat ini. Perang, krisis energi, inflasi, stagflasi, akhirnya resesi.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Survei Bloomberg pekan lalu menyebut Indonesia memiliki risiko rendah memasuki resesi, terendah kedua dari 15 negara Asia yang disurvei. Risiko Indonesia jatuh ke liang resesi hanya 3%, jauh dibandingkan dengan Sri Lanka yang 85% atau Korea Selatan yang 25%.

“Secara umum, risiko negara Asia memasuki resesi lebih rendah dibandingkan dengan Eropa dan Amerika Serikat (AS). Risiko Asia memasuki resesi antara 20%-25%, AS sekitar 40%, sedangkan Eropa 50%-55%,” kata Steven Cochrane, ekonom Moddy’s Analytics Inc.

Riset Nomura Holdings Inc pekan sebelumnya sudah menegaskan sebaran peta dan kedalaman resesi tersebut, terutama di AS, Eropa, dan Jepang. Nomura melihat resesi di AS akan berlangsung 5 kuartal mulai dari kuartal terakhir tahun ini. Pasalnya, tekanan harga telah menyebar ke barang-barang jasa, sewa, juga upah.

“Tanda bahwa ekonomi memasuki perlambatan yang tersinkronisasi telah semakin meningkat, yang berarti negara-negara tidak dapat lagi mengandalkan ekspor untuk pertumbuhan, dan itu mendorong kami memperkirakan terjadinya resesi,” tulis analis Nomura Rob Subbaraman dan Si Ying Toh.

Menanggapi survei Bloomberg tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan risiko Indonesia rendah untuk jatuh ke liang resesi karena sejumlah indikator seperti neraca pembayaran dan ketahanan APBN Indonesia relatif lebih baik dibandingkan dengan negara lain.

Tentu, survei itu, juga klaim Sri Mulyani masih bisa diperdebatkan. Neraca pembayaran kita toh defisit dalam 2 kuartal terakhir, dan trennya meningkat. Transaksi berjalan 3 kuartal terakhir memang surplus, tetapi trennya menurun. Keseimbangan primer APBN yang surplus juga berisiko berbalik defisit karena lompatan belanja.

Surplus itu pun didorong berkah ekspor komoditas, sama seperti setoran pajak yang surplus—bukan karena perubahan struktural. Ekonomi kita tidak banyak terpapar risiko resesi, ini yang tidak disampaikan Menkeu, lebih karena struktur ekonomi kita didorong komoditas dengan sedikit interkoneksi dengan rantai pasokan global.

Dengan kata lain, eksposur ‘ekonomi komoditas’ khas Indonesia ini akan bekerja membuat sisi fiskal kita relatif safe, meski belum sepenuhnya secure karena pada saat yang sama kita harus menutup lonjakan belanja subsidi di sisi lain, dan ada kenaikan risiko utang akibat perlemahan nilai tukar.

Karena itu, pintu resesi yang perlu lebih diwaspadai adalah dari sisi moneter, mengingat tren kenaikan suku bunga global jelas akan memperlemah nilai tukar. Makin melemah nilai tukar, makin tinggi inflasi, makin besar risiko utang yang harus kita bayar. Ujung dari semua itu, ekonomi kita melembam.

Situasi ini tentu akan memaksa Bank Indonesia melakukan intervensi. Namun, intervensi jelas ada ongkos dan batasnya. BI pasti berhitung begitu cadangan devisa menipis. Kalau nanti BI mulai mengerek suku bunga, ibarat ramalan bintang, mungkin saat itulah BI mengucapkan selamat datang pada stagflasi dan resesi! (Bsi)



KOMENTAR

Silahkan berikan komentar dengan baik

Tulis Komentar Anda :