TAJUK PAJAK

Standar Ganda Pajak Karbon

Standar ganda ini—keras untuk PPN tetapi lembek di pajak karbon—jelas menggerus kredibilitas fiskal.

By | Kamis, 04 Agustus 2022 17:28 WIB

DUA kali sudah pemerintah menunda penerapan pajak karbon amanat Pasal 13 dan 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Penundaan tersebut dieksekusi pada 1 April 2022 dan 1 Juli 2022. Lalu, sampai kapan penerapan pajak karbon ini ditunda?

Jawabannya: Tidak jelas. Bisa sampai akhir tahun, bisa tahun depan, tahun berikutnya, atau entah kapan. Informasi sampai kapan penundaan itu berakhir tidak disebutkan baik dalam pernyataan Kepala Badan Kebijakan Fiskal pada 27 Juni 2022 atau Menteri Keuangan pada 28 Juli 2022.

Menkeu Sri Mulyani Indrawati hanya mengatakan pemerintah masih berhati-hati untuk mengenalkan atau menerapkan pajak karbon. Paling tidak ada dua pertimbangannya. Pertama, pemulihan ekonomi masih rentan. Kedua, situasi geopolitik membuat harga energi melonjak tajam.




Menkeu juga menginformasikan Kementerian Keuangan tengah menyiapkan aturan teknis penerapan pajak karbon melalui rancangan peraturan menteri keuangan. Rancangan tersebut akan memuat tarif pajak karbon, serta prosedur dan mekanisme penerapan pajak karbon.

Setelah peraturan menteri itu dibahas, lalu akan dirilis ke publik. Regulasi itu dirancang sekaligus untuk merumuskan roadmap pajak karbon dan mendorong pengembangan pasar karbon, inovasi teknologi, dan iklim investasi yang efisien untuk sektor rendah karbon dan ramah lingkungan.

Adapun roadmap pajak karbon bertujuan untuk mencapai transisi energi yang adil dan berkelanjutan. Adil berarti terjangkau, tidak merugikan, dan tidak menimbulkan gangguan sosial. Karena itu, perlu perhitungan yang tepat untuk menerapkan kebijakan yang tepat dan kredibel.



“Kami ingin pastikan pajak karbon tidak menimbulkan gangguan serius bagi pemulihan ekonomi maupun ketahanan energi. Kami akan mengimplementasikan kebijakan yang tepat, terus dibahas, sehingga kami dapat memperkenalkan pada waktu yang tepat dan mekanisme yang tepat,” katanya.

Kami ingin mengingatkan penerapan pajak karbon ini adalah amanat UU HPP, sama persis dengan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN). Sewaktu mengerek naik tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada 1 April 2022, alasan amanat UU itulah yang dipakai pemerintah.

Alasan yang benar belaka. Redaksi Pasal 7 ayat (1) a UU HPP sudah sangat jelas dan eksplisit menyatakan kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% berlaku mulai 1 April 2022. Amanat undang-undang jelas tidak boleh dilanggar. Meski, korbannya adalah bertambahnya jumlah orang miskin sebanyak 700 ribu orang.

Namun, UU yang sama juga mengamanatkan pajak karbon berlaku mulai 1 April 2022. Amanat ini juga secara eksplisit dinyatakan Pasal 17 ayat (3). Namun, tidak seperti saat menaikkan PPN, pemerintah jelas melanggar amanat UU ini. Ditunda hingga Juli 2022, dan kini ditunda lagi entah sampai kapan.

Harus dipahami, Menkeu adalah pelaksana UU, bukan pihak yang boleh melakukan tawar-menawar dengan UU dengan alasan apapun. Kekuasaan memajaki atau tidak memajaki bukan berada di tangan Menkeu, tetapi seperti ditegaskan konstitusi, ada di UU. Itulah yang harus dilaksanakan.

Jadi, selama UU sudah mengamanatkannya, seharusnya Menkeu tidak mengatakan pemerintah masih berhati-hati untuk menerapkan pajak karbon. Dua alasan itu, pemulihan ekonomi rentan dan lonjakan harga energi, juga tidak perlu ada, atau lebih tepat diada-adakan.

Sebab dua alasan itu adalah juga alasan kuat bukan hanya untuk menunda pajak karbon, tetapi juga menunda kenaikan tarif PPN. Saat menaikkan tarif PPN, pemerintah beralasan hal itu sudah menjadi amanat UU, meski ditentang banyak kalangan. Kenapa kini memakai alasan itu untuk membenarkan penundaan pajak karbon?

Penerapan pajak karbon ini bersamaan waktunya dengan kenaikan tarif PPN pada 1 April 2022 sesuai dengan poin menimbang huruf c UU HPP, yaitu “untuk menerapkan strategi konsolidasi fiskal yang berfokus pada perbaikan defisit anggaran dan peningkatan rasio pajak..”.

Penerapan pajak karbon paling tidak memenuhi 4 dari 5 unsur tujuan UU HPP sebagaimana disebut Pasal 1 ayat (2) UU HPP. Pertama, meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian.

Kedua, mengoptimalkan penerimaan guna membiayai pembangunan secara mandiri. Ketiga, mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum. Keempat, melaksanakan reformasi administrasi, kebijakan perpajakan konsolidatif, dan perluasan basis pajak.

Standar ganda seperti ini—keras dalam kenaikan tarif PPN, tetapi lembek di pajak karbon—jelas akan mengurangi peluang melakukan strategi konsolidasi fiskal guna memperbaiki defisit anggaran dan meningkatkan rasio pajak. Selain tentu saja, menggerus kredibilitas fiskal. Ini yang harus dihitung. (Bsi)



KOMENTAR

Silahkan berikan komentar dengan baik

Tulis Komentar Anda :