TAJUK PAJAK

Duh, Tax Ratio Kita..

Andai tax ratio kita 18%, kita tidak perlu menaikkan harga BBM, tarif PPN, dan terus memupuk utang.

By | Senin, 19 September 2022 14:17 WIB

Ilustrasi.
Ilustrasi.

ANDAI saja tax ratio tahun ini 18%, tentu kita tidak perlu menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN), atau menarik utang luar negeri terlalu banyak hingga melejitkan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) kita hingga melampaui 41%.

Kalau tidak ada kenaikan tarif PPN dan harga BBM, tentu situasi makroekonomi dan sosial politik bisa lebih cozy. Laju inflasi bisa kita jaga pada level 3%, risiko stagflasi bisa kita hindari, dan kelompok pro demokrasi cukup duduk manis tidak perlu menggelar demonstrasi—apalagi sampai ke kantor pajak.

Pengandaian itu tentu bukan karena iseng sendiri. Sebaliknya, pengandaian itu perlu kita kedepankan. Sebab 17 tahun lalu, kami tegaskan kembali, 17 tahun lalu, tax ratio kita hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan pada 2005 sudah mencapai 12,71%, naik gremat-gremet dari 2001 sebesar 11,58% .




Sampai sekarang, itu tax ratio tertinggi yang pernah kita capai. Tahun 2008, yang tax ratio-nya 13,31% harus diperkecualikan karena saat itu terjadi booming komoditas seperti sekarang berikut penundaan pencairan restitusi. Buktinya, tahun berikutnya tax ratio anjlok drastis 2,25 poin persen ke 11,06%.

Kalau pada 2006 itu Menteri Keuangan memerintahkan Dirjen Pajak yang menjadi bawahannya langsung menaikkan tax ratio setiap tahun sebesar 0,3% saja, kami tegaskan kembali, 0,3% saja dan tidak perlu sampai 1%, maka pada tahun ini tax ratio kita sudah mencapai 17,81%.

Jika itu terjadi, maka dengan PDB saat ini sekitar Rp17.000 triliun, setoran pajak kita sudah melampaui angka Rp3.000 triliun. Angka tersebut terpaut sangat jauh dengan target penerimaan pajak dan cukai tahun ini yang bahkan tidak sampai Rp2.000 triliun.



Sayang seribu sayang, perintah itu tidak pernah ada. Yang ada malah target penerimaan pajak terus diturunkan di tengah tahun melalui mekanisme perubahan anggaran. Yang terjadi kemudian, seperti yang kita saksikan bersama, adalah penurunan tax ratio secara masif, sistematis, dan struktural.

Masif karena terjadi demoralisasi di Ditjen Pajak antara lain akibat faktor penerimaan pajak yang tidak dijadikan faktor utama promosi atau demosi. Sistematis karena sistem yang ada tidak memungkinkan adanya lompatan penerimaan. Struktural karena target penerimaan pajak terus-menerus diturunkan.

Penurunan tax ratio itu juga dibarengi ketidakseimbangan sistem self-assessment. Berbagai aturan pelaksanaan UU No. 28 Tahun 2007 telah memberi begitu banyak kemudahan bagi wajib pajak, tetapi tidak memberi cukup ruang bagi negara untuk mengawasi dan mencegah kecurangan wajib pajak.

Semua aturan pelaksanaan UU No. 28 Tahun 2007 yang memudahkan wajib pajak sudah dibuat sesuai dengan kehendak UU tersebut. Mulai dari pemangkasan masa daluwarsa pajak dari 10 tahun menjadi 5 tahun, banding pajak menunda penagihan dari semula tidak menunda, insentif, dan seterusnya.

Namun, aturan pelaksanaan UU No. 28 Tahun 2007 yang mengatur kewenangan negara mendapatkan data wajib pajak di luar konteks pemeriksaan, juga aturan pelaksanaan UU No. 9 Tahun 2017 atas data rekening di bank untuk kepentingan penerimaan, dibuat sedemikian rupa menyusahkan pengawasan.

Akibatnya, self-assessment ini tidak seimbang: Negara tidak kunjung memiliki data wajib pajak yang reliable untuk mengoreksi Surat Pemberitahuan. Kalau ketidakseimbangan ini yang terus ditunjukkan, kita berhak bertanya: Apa penerimaan pajak sengaja dibuat rendah agar negara bisa terus berutang?

Kami ingin mengatakan, tax ratio kita yang sangat rendah sekarang ini tidak datang dari ruang hampa. Tax ratio 8%-9% ini merupakan akumulasi berbagai peraturan pelaksanaan yang tidak sinkron dengan aturan induk yang dibuat pemerintah dan DPR. Inilah penyebab utama kenapa tax ratio kita rendah.

Dengan kata lain, sama sekali bukan karena faktor dari luar atau eksternal. Karena itu, lebih baik jika pengakuan atau lebih tepat keluhan terbaru dari para pejabat soal tax ratio kita yang sangat rendah itu disimpan. Kami tidak butuh dengan pengakuan dan keluhan seperti itu. Itu hanya apologi.

Lalu apa? Baiknya kita mulai dari kejujuran. Akui saja, aturan pelaksanaan yang membentuk sistem self-assessment tidak mendudukkan secara seimbang hak dan kewajiban antara negara dan wajib pajak. Reformasi pengawasan pajak amanat Pasal 35A UU No. 28 Tahun 2007 tidak dilaksanakan semestinya.

Sistem self-assessment menjadi tidak seimbang karena kekeliruan pengejawantahan amanat Pasal 35A tidak kunjung diperbaiki sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Akui dulu itu, lalu silakan mengeluh tentang rendahnya tax ratio kita! (Bsi)



KOMENTAR

Silahkan berikan komentar dengan baik

Tulis Komentar Anda :