TAJUK EKONOMI

Pesan Di Balik Pengumuman BI

Kebijakan moneter seharusnya tidak berhenti sebagai kebijakan yang pasif.

By | Kamis, 29 September 2022 13:28 WIB

Ilustrasi.
Ilustrasi.

TUGAS utama bank sentral di muka bumi ini adalah membuat perubahan kebijakan moneter berjalan se-smooth mungkin. Itu kata Nouril Roubini beberapa tahun silam, ekonom yang memprediksi dengan tepat krisis keuangan global 2008 pada 2006. Memang itulah praktik dalam kenyataannya.

Karena itu kita melihat, bank sentral di dunia ini paling banter menaikkan atau menurunkan suku bunga acuan 25 basis poin. Kalau sampai 50 basis poin atau di atasnya, berarti sudah terjadi sesuatu yang luar biasa, sehingga perlu direspons dengan perubahan suku bunga dalam porsi tersebut.

Karena tugas itu pula, semua bank sentral di seluruh dunia memiliki orang-orang yang bekerja untuk menenangkan pasar. Orang-orang ini rutin menemui para ekonom yang biasa berkomentar di media, juga menemui para wartawan atau pemilik media. Biasanya dengan mengundang makan dan diskusi.




Dalam pertemuan itu, biasanya satu pesannya, jangan terlalu keras berkomentar, atau silakan cek datanya kepada kami terlebih dahulu sebelum berkomentar. Para ekonom tersebut, yang juga biasa meminta data kepada bank sentral untuk risetnya, biasanya mengangguk. Everybody happy.

Namun, kita tidak mempersoalkan itu. Bahwa para ekonom tersebut, juga pemberitaan media akan memengaruhi psikologi pasar itu adalah satu hal. Perkara lain yang kita persoalkan adalah bagaimana bank sentral memberikan arah yang lebih presisi kepada pasar untuk sesuatu yang akan datang.

Pesan inilah yang jauh lebih penting. Pesan agar masyarakat luas bisa mempersiapkan diri sekaligus melakukan berbagai antisipasi. Dengan demikian, kebijakan moneter tidak berhenti sebagai kebijakan yang pasif, tetapi kebijakan yang responsif sekaligus partisipatif.



Kami belum lupa, pada Juni 1997, Bank Indonesia (BI) termasuk yang berpendapat Indonesia masih jauh dari krisis karena inflasinya rendah, neraca perdagangannya surplus, cadangan devisanya kuat, dan perbankannya okay. Baru ketika rupiah sempoyongan pada Agustus 1997 semua kelabakan.

Kamis lalu (22/9/2022), BI mengerek naik suku bunga acuan atau BI 7-Days Repo Rate hingga 50 basis poin, dua kali lipat lebih besar dari konsensus pasar, 25 basis poin. Kenaikan tersebut menjadikan suku bunga acuan menjadi 4,25% dari posisi 23 Agustus lalu 3,75%.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan kenaikan suku bunga acuan 50 basis poin itu ditujukan untuk menurunkan ekspektasi inflasi dan inflasi inti, sebagai langkah front-loaded, pre-emptive, dan forward looking. Targetnya, inflasi inti kembali ke sasaran awal, yakni 3% ± 1% pada semester II/2023.

Selain itu, Perry juga menyebut alasan lain, yaitu untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya akibat tingginya ketidakpastian pasar keuangan global, di tengah permintaan ekonomi domestik yang tetap kuat.

BI juga mempertahankan pandangan hati-hati atas risiko inflasi akibat kenaikan harga BBM, seraya memperkirakan efek putaran kedua akan muncul dalam 3 bulan. Inflasi pada akhir tahun diperkirakan meningkat di atas 6% dengan inflasi inti 4,6%, dari inflasi Agustus 4,69% dan inflasi inti 3,04%.

Langkah BI ini praktis mengikuti kebijakan hawkish bank sentral Amerika Serikat (US Federal Reserve) sehari sebelumnya (21/9/2022). The Fed mengerek suku bunga acuannya 75 basis poin menjadi 3-3,25% dan memangkas proyeksi pertumbuhan AS 2022-2023 ke 0,2% dan 1,2% dari semula 1,7%.

Hal yang sama juga ditempuh bank sentral Filipina (22/9/2022) yang menaikkan suku bunga acuannya 50 basis poin menjadi 4,25% sesuai dengan konsensus pasar, mengingat inflasinya jauh di atas target dengan depresiasi Peso yang tajam, menyusul kenaikan 50 basis poin pada Agustus 2022.

Ketua the Fed Jerome Powell mengonfirmasi prioritas pertama bank sentral adalah mengembalikan inflasi ke level target 2%, serta menegaskan kembali komitmen the Fed untuk mencapai target ini bahkan apabila itu berarti harus mengorbankan pertumbuhan ekonomi.

Para pejabat the Fed sendiri memperkirakan suku bunga acuan the Fed akan mencapai 4,6% pada 2023 sebelum pelonggaran bisa dilakukan. Dengan perkiraan itu, suku bunga acuan the Fed pada akhir 2022 akan menjadi 4,4%. Singkatnya, kenaikan suku bunga acuan masih akan terjadi.

Kenapa langkah the Fed sampai semengejutkan itu, tidak lain karena berkumpulnya sejumlah badai stagflasi global, seperti diingatkan Roubini April lalu. Inilah pesan BI, realitas baru yang harus dihadapi rakyat Indonesia: Stagflasi, laju inflasi lebih tinggi dan pertumbuhan ekonomi lebih rendah. (Bsi)



KOMENTAR

Silahkan berikan komentar dengan baik

Tulis Komentar Anda :