TAJUK PAJAK

Bila Target Pajak Di Bawah Pertumbuhan Alaminya

Target penerimaan DJP dibuat sangat rendah, hingga tax ratio 2023 lebih rendah dari tahun ini.

By | Jum'at, 07 Oktober 2022 17:30 WIB

Ilustrasi.
Ilustrasi.

MEMBACA asumsi makro dan postur APBN 2023 tampaknya bisa menjadi ‘penghibur’ di hari-hari yang basah sekaligus menyedihkan ini. Bagaimana tidak, target penerimaan Ditjen Pajak (DJP) dibuat sangat rendah, dan yang ‘menghibur’, tidak ada satu pun media yang mengkritiknya.

Kita sangat berduka atas Tragedi Kanjuruhan, Malang, yang membunuh 131 orang itu, yang sebagian di antaranya anak-anak, ditambah ratusan korban lainnya. Semoga Allah S.W.T melapangkan arwah mereka yang meninggal, dan memberikan kekuatan kepada yang ditinggalkan.

Tentu, pemerintah harus segera mengumumkan apa yang sebenarnya terjadi di stadion itu, dan menuntut mereka yang seharusnya bertanggung jawab. Para pejabat kepolisian dan PSSI juga harus mundur karena keteledoran mereka telah menyebabkan begitu banyak korban.




Untuk asumsi makro APBN 2023, kita bayangkan, tahun depan booming harga minyak mentah, batu bara dan minyak sawit mentah sudah mulai berakhir. Itu berarti, akan ada pukulan serentak ke banyak lini. Mulai dari penerimaan pajak, konsumsi rumah tangga, pertumbuhan ekonomi, dan seterusnya.

Di sisi lain, akibat krisis pangan dan energi global yang dipicu perang Rusia-Ukraina, Federal Reserve masih akan terus mengerek suku bunga acuannya paling tidak sampai pertengahan tahun depan. Itu berarti, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan terus berada dalam tekanan.

Untuk mengantisipasi itu pula, Bank Indonesia (BI) akan cenderung mengikuti pola the Fed dalam menaikkan suku bunga acuannya, terutama untuk menjaga laju inflasi dan mempertahankan stabilitas nilai tukar. Bunga yang tinggi dengan sendirinya akan memukul pertumbuhan ekonomi.



Dengan kata lain, deskripsi situasi ekonomi tahun depan sulit untuk bisa dibilang cerah. Masih agak-agak mendung-lah. Fenomena stagflasi, yang ditandai dengan laju inflasi yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang rendah, masih akan kita lihat paling tidak sampai pertengahan tahun depan.

Lalu bagaimana dengan postur APBN? Outlook penerimaan pajak atau Ditjen Pajak (DJP) tahun ini ditaksir Rp1.608 triliun, sedangkan penerimaan Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) Rp317 triliun. Adapun tahun depan penerimaan DJP dipatok Rp1.718 triliun sementara DJBC Rp303 triliun.

Itu berarti, penerimaan DJP tahun depan dipatok tumbuh 6,8%, sedangkan penerimaan DJBC dipatok negatif 4,4%. Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,3% ditambah inflasi 3,6%, maka pertumbuhan alami penerimaan DJP sesuai dengan formula yang sampai sekarang masih berlaku adalah 8,9%.

Lalu bagaimana menjelaskan target pertumbuhan penerimaan DJP yang di bawah pertumbuhan alaminya? Apakah ini berarti Badan Kebijakan Fiskal menyuruh pegawai DJP ongkang-ongkang kaki sambil pamer akik di kantor, lalu nanti di akhir tahun mereka menerima bonus besar dari uang pembayar pajak karena target rendahnya terlampaui?

Seharusnya, target penerimaan DJP dipatok minimal 3% di atas pertumbuhan alaminya. Jika tahun depan pertumbuhan alaminya 8,9%, maka target pertumbuhannya seharusnya 12%. Yang 3% tadi dihitung sebagai extra effort, misalnya melalui pemeriksaan, penyidikan, dan seterusnya.

Itu praktik yang terjadi di DJP sejak 20 tahun silam. Apa gunanya kemajuan sumber daya manusia di DJP sekarang, apa manfaatnya kemajuan teknologi. Dahulu ada banyak rahasia yang tidak dapat ditembus aparat pajak, sekarang tidak ada rahasia bagi aparat pajak, dahulu tarif PPN cuma 10%, sekarang 11%.

Sedangkan dengan target pertumbuhan alaminya saja, katakanlah tahun depan 8,9%, para pegawai DJP cukup bekerja as usual atau seperti biasa tanpa perlu terobosan. Misalnya membuat bank data wajib pajak yang bisa digunakan untuk mengoreksi otomatis Surat Pemberitahuan (SPT).

Bekerja seperti biasa sajalah, tidak perlu aneh-aneh, penerimaan toh otomatis sudah masuk dengan sendirinya. Porsi penerimaan dari withholding tax di Indonesia sudah sangat mendominasi. Dengan kata lain, yang bekerja mengumpulkan penerimaan pajak adalah wajib pajak sendiri, bukan DJP.

Apalagi ini target penerimaannya di bawah pertumbuhan alaminya. Dengan mematok pertumbuhan target penerimaan jauh di bawah level pertumbuhan alaminya, dengan sendirinya pemerintah ingin agar tax ratio tetap rendah. Apakah ini agar pemerintah bisa tetap menarik utang?

Justru, yang layak dikasihani adalah Dirjen Pajak saat ini. Katakanlah target penerimaan DJP 2023 tercapai, tax ratio yang digenggamnya masih single digit, yaitu tax ratio pajak 8,16% dan tax ratio perpajakan 9,6%. Capaian itu akan membuatnya sukses menjadi Dirjen Pajak dengan tax ratio terendah sejak reformasi 1998.

Angka tax ratio tersebut bahkan masih lebih rendah dari proyeksi tax ratio pemerintah untuk tahun ini, masing-masing 8,35% dan 9,9%. Apa yang menjelaskan ini, Bu Menteri? Apakah betul target tax ratio tetap dibuat rendah agar pemerintah bisa menarik utang? (Bsi)



KOMENTAR

Silahkan berikan komentar dengan baik

Tulis Komentar Anda :