Lakukan Perbaikan Menyeluruh
DUA pekan lalu, Selasa (4/10/2022), 3 hari setelah Indonesia diguncang Tragedi Kanjuruhan, Malang, yang menewaskan 131 orang, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengirimkan laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2022 kepada DPR.
Itu momentum semesteran yang menjadi tugas BPK seperti diatur Pasal 23E ayat (2) UUD 1945. Dalam IHPS I/2022 yang sebagian isinya sudah tercantum dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2021 tersebut, BPK mengungkapkan 9.158 temuan dari 15.674 permasalahan senilai Rp18,37 triliun.
Perinciannya, sebanyak 7.020 permasalahan berupa kelemahan sistem pengendalian intern, 8.116 permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, dan 538 permasalahan ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan senilai Rp1,04 triliun
Dari 8.116 permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, terdapat 5.465 permasalahan yang dapat mengakibatkan kerugian, potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan. Nilainya Rp17,33 triliun. Sisanya penyimpangan administrasi.
Ketua BPK Isma Yatun mengatakan selama proses pemeriksaan sudah ada tindak lanjut dari auditee atau entitas yang diperiksa dengan penyetoran uang atau penyerahan aset baru senilai Rp2,41 triliun, atau baru 13,9% dari nilai total Rp17,33 triliun.
Dalam IHPS I/2022 itu, ada 2 hasil audit yang kita cermati. Pertama, pengelolaan insentif Pemulihan Ekonomi Nasional Rp15,31 triliun yang tidak memadai. Kedua, absennya pelaporan akrual hak dan kewajiban negara masing-masing Rp11,11 triliun dan Rp21,83 triliun, serta piutang daluwarsa Rp710,15 miliar.
Untuk yang pertama, pengelolaan insentif yang belum memadai itu telah mengakibatkan pemberian insentif PPN kepada pihak yang tidak berhak Rp1,31 triliun, insentif PPN Rp390,47 miliar yang tidak valid alias manipulatif, juga pemanfaatan PPN DTP Rp3,55 triliun yang tidak handal.
Kemudian pemberian PPN DTP kepada pihak yang tidak berhak Rp154,82 miliar, penerimaan dari penyelesaian tagihan pajak DTP Rp2,06 triliun, subsidi dan penerimaan pajak DTP belum dicatat Rp4,66 triliun, serta insentif Rp2,57 triliun yang tidak valid alias manipulatif.
Atas permasalahan ini, BPK merekomendasikan Menteri Keuangan menginstruksikan Dirjen Pajak memutakhirkan sistem pengajuan insentif dengan menambahkan persyaratan kelayakan penerima insentif dan fasilitas perpajakan sesuai dengan ketentuan.
Selain itu, Ditjen Pajak juga harus menguji kembali kebenaran pengajuan insentif perpajakan yang telah diajukan wajib pajak dan disetujui, serta menagih kekurangan pembayaran pajak beserta sanksinya untuk pemberian insentif yang tidak sesuai.
Pada yang kedua, BPK mencatat permasalahan itu mengakibatkan pemerintah tidak dapat menyajikan hak dan kewajiban negara masing-masing minimal Rp11,11 triliun dan Rp21,83 triliun, piutang pajak berisiko tidak dapat ditagih lagi Rp940,96 juta, dan piutang PBB daluwarsa Rp709,21 miliar.
Atas permasalahan ini, BPK merekomendasikan Menteri Keuangan merumuskan kembali Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) yang mencakup seluruh transaksi pajak, dan merevisi KMK No. 950/KMK.01/2019 untuk mengakomodasi PSAP 15 terhadap piutang yang daluwarsa.
Selain itu, BPK juga merekomendasikan agar Menteri Keuangan melakukan inventarisasi atas piutang macet yang belum kedaluwarsa penagihan per 30 Juni 2022 dan melakukan tindakan penagihan aktif sesuai dengan ketentuan.
Kita tahu, di hari-hari ini, suara publik dari dua hasil audit BPK ini tidak sekencang isu-isu lain yang menyedot perhatian publik. Dimulai dari Tragedi Kanjuruhan, kasus Ferdi Sambo, pencalonan Anies Baswedan sebagai Presiden dari Partai Nasdem, hingga yang terakhir dugaan ijazah palsu Presiden.
Namun, tidak berarti hasil audit tersebut tidak penting. Justru, hasil audit itu merupakan koreksi atas kebijakan pemerintah, terutama dalam mengelola insentif penanganan Covid-19, dan bagaimana membangun sistem dan pengawasan yang efektif hingga piutang pajak tetap bisa ditagih.
Lalu bagaimana respons Menkeu Sri Mulyani Indrawati atas hasil audit BPK ini? Melalui Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal, ia mengatakan pemerintah akan melaksanakan seluruh rekomendasi lembaga auditor eksternal tersebut sehingga kredibilitas fiskal bisa tetap terjaga.
“Ada komponen PPN DTP yang belum dicairkan tahun lalu Rp6,74 triliun karena ada pemeriksaan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, sehingga menjadi tunggakan. Lalu ada faktor teknis yaitu perbedaan metode pembacaan faktur,” kata Yon.
Namun, Yon tidak menjelaskan, kenapa tetap ada penyaluran insentif kepada pihak yang diduga tidak berhak dengan data yang manipulatif, dan bagaimana piutang pajak bisa sampai daluwarsa. Kami tentu prihatin dengan situasi ini. Tidak bisa tidak, harus ada perbaikan menyeluruh terhadap praktik-praktik tersebut. (Bsi)
KOMENTAR
Silahkan berikan komentar dengan baikTulis Komentar Anda :