SEBELUM memangku jabatannya, seorang Presiden akan bersumpah menurut agamanya, atau berjanji di hadapan MPR atau DPR. Kami kutip utuh bunyinya di sini, seperti yang tertulis dalam Pasal 9 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 setelah amendemen:
Sumpah Presiden:
“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh undang-undang dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa”.
Janji Presiden:
“Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh undang-undang dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
Perhatikan frasa memegang teguh undang-undang dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya. Itu berarti, seorang Presiden tidak boleh melanggar UUD dan harus menjalankan semua undang-undang seperti yang dikehendaki pembuat undang-undang.
Sekarang, mari kita lihat Pasal 23A UUD 1945 setelah amendemen. Begini bunyinya:
“Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.”
Perhatikan frasa diatur dengan undang-undang, dan bedakan dengan frasa diatur berdasarkan undang-undang seperti yang tertera sebelum amendemen. Jika yang pertama harus melalui undang-undang, yang kedua bisa melalui peraturan pemerintah atau peraturan turunan berikutnya.
Pasal itu juga berarti, kekuasaan memajaki atau tidak memajaki ada pada undang-undang, bukan yang lain, entah itu Presiden, Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, atau Dirjen Pajak. Undang-undang-lah pemilik kekuasaan itu. Para pejabat yang disebut tadi hanyalah pelaksana undang-undang.
Sekarang, mari kita lihat Pasal 17 ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Begini bunyinya:
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022, yang pertama kali dikenakan terhadap badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uap batubara dengan tarif Rp30,00 (tiga puluh rupiah) per kilogram karbon dioksida ekuivalen (COze) atau satuan yang setara.”
Pasal 13 sendiri mengatur pajak karbon.
Lalu, apa kesimpulan Anda ketika Menteri Keuangan terus menunda penerapan pajak karbon tanpa ada kejelasan batas waktu, hingga kemudian Menko Perekonomian menyatakan pajak karbon akan diterapkan 2025 alias bukan pada pemerintahan saat ini? Apakah keduanya berhak menyatakan itu?
Kami perlu mengangkat lagi persoalan ini untuk kembali mengingatkan. Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian adalah pelaksana undang-undang. Keduanya tidak berhak menawar apa yang sudah ditetapkan undang-undang, apalagi mengalahkannya. Keduanya hanya wajib menjalankannya.
DPR harus mengingatkan pemerintah atas masalah ini. DPR bisa mengajukan hak interpelasi untuk meminta keterangan pemerintah kenapa pajak karbon terus ditunda. Hak interpelasi ini kemudian bisa berlanjut dengan hak menyatakan pendapat: Presiden telah melanggar konstitusi.
Lalu, apakah dengan pelanggaran Pasal 9 dan Pasal 23A UUD 1945 itu Presiden bisa dimakzulkan? Tentu bisa. Namun, mengingat lebih dari 70% kursi di parlemen saat ini dikuasai partai pendukung pemerintah, rasanya sih tidak mungkin. Jangan terlalu berharaplah.
Lalu apa yang bisa kita lakukan? Menggugat ke mana? Apa kita mau membiarkan kekuasaan undang-undang untuk memajaki atau tidak memajaki dirampas seenaknya oleh Menteri—dengan alasan yang sungguh sangat bisa kita perdebatkan? Atau kita lebih baik diam cari aman?
Untuk menunda pajak karbon, seharusnya pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang seperti yang sejak awal kami sarankan. Hanya, pemerintah harus merumuskan alasan ‘kegentingan yang memaksa’ yang bisa kita uji, sekaligus meraih persetujuan parlemen. Itu saja. (Bsi)
KOMENTAR
Silahkan berikan komentar dengan baikTulis Komentar Anda :