Baru Substitusi, Belum Integrasi
UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) seperti mengembalikan lagi harapan akan adanya integrasi berbagai nomor identitas di Indonesia. Selama ini, ada sekitar 40 nomor identitas yang digunakan di Indonesia.
Nomor-nomor identitas itu terbagi dalam dua kategori, yaitu nomor kependudukan (nonfinansial) dan nomor nonkependudukan (finansial). Kedua kategori nomor ini diterbitkan berbagai instansi seperti pemerintah daerah, Kementerian Dalam Negeri, Ditjen Pajak (DJP), dan seterusnya.
Nomor kependudukan antara lain Nomor Induk Kependudukan, Paspor, Kartu Keluarga, Akta Kelahiran, sampai Surat Izin Mengemudi. Adapun nomor nonkependudukan antara lain Nomor Pokok Wajib Pajak, BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan, kartu kredit, hingga Akta Perusahaan.
Lalu bagaimana mengintegrasikan berbagai nomor identitas ini? Gagasan untuk itu lahir 21 tahun lalu pada 2001. Saat itu, Dirjen Pajak Hadi Poernomo menggulirkan program reformasi pengawasan pajak, sebagai bagian dari reformasi pajak yang digagas selain reformasi pelayanan, kebijakan, dan moral.
Dalam program reformasi pengawasan pajak itu, ada kegiatan pembentukan bank data perpajakan. Bank data ini berisi data dari kumpulan nomor identitas yang dintegrasikan dalam satu nomor yang dikelola DJP. Namanya nomor identitas tunggal/Single Identity Number (SIN) Pajak.
Untuk itu, DJP pun menggalang MoU dengan instansi penerbit nomor tersebut, yang totalnya ada 32 nomor identitas. Pemerintah memberi kepercayaan kepada DJP untuk mengelola SIN Pajak, setelah rapat kabinet menilai DJP paling siap dibandingkan dengan Ditjen Imigrasi atau Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil.
Sayang, Dirjen Pajak Darmin Nasution yang didukung Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati malah membunuh gagasan tersebut. Padahal, pada masa kedua pejabat itulah ada dasar hukum yang kuat untuk membentuk bank data perpajakan, yaitu Pasal 35A UU Nomor 28 Tahun 2007.
Darmin menerbitkan Keputusan Dirjen Pajak Nomor 111/PJ/2008 tentang Rencana Strategis DJP Tahun 2008-2012 yang mencabut Keputusan Dirjen Pajak Nomor 178/2004 tentang Grand Strategy 10 Tahun, yang di dalamnya mengamanatkan pembentukan SIN.
Adapun Menkeu Sri Mulyani menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 157/PMK.01/2008 tentang Renstra Kemenkeu 2005-2009 yang mencabut KMK No. 84/KMK.01/2006, yang di dalamnya juga mengamanatkan pembentukan SIN. PMK yang sekarang entah ke mana itu.
Belakangan, karena persoalan kurangnya data selalu menjadi keluhan setiap Dirjen Pajak untuk memaksimalkan penerimaan, juga banyak riset serta rekomendasi dari berbagai institusi seperti IMF atau World Bank, akhirnya kebutuhan integrasi nomor identitas itu dimunculkan kembali.
Kebutuhan integrasi nomor identitas itulah yang masuk ke dalam UU HPP. Lalu bagaimana UU HPP mengaturnya? Ada dua hal yang diatur UU HPP. Pertama, integrasi NIK dan NPWP. Kedua, substitusi NIK terhadap NPWP. Untuk integrasi NIK dan NPWP diatur Pasal 2 ayat (10). Begini bunyinya:
“Dalam rangka penggunaan NIK sebagai NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (1a), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri memberikan data kependudukan dan data balikan dari pengguna kepada Menkeu untuk diintegrasikan dengan basis data perpajakan.”
Kemudian Pasal 44E ayat (1): “Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian data dalam rangka integrasi basis data kependudukan dengan basis data perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (10) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.”
Untuk substitusi NIK terhadap NPWP diatur Pasal 1 ayat (1a): Begini bunyinya: “NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan penduduk Indonesia menggunakan NIK.”
Kemudian Pasal 44E ayat (2): “Ketentuan lebih lanjut mengenai: a. jangka waktu pendaftaran dan pelaporan serta tata cara pendaftaran dan pengukuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) termasuk penggunaan NIK sebagai NPWP, penghapusan NPWP dan/atau pencabutan Pengukuhan PKP.. ; diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri.”
Itulah sebabnya kenapa PMK No. 112/PMK.03/2022 tentang NPWP bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah, tidak mencantumkan Pasal 2 ayat (10) dan Pasal 44E ayat (1) dalam poin menimbang. Yang ada Pasal 44E ayat (2).
Dengan demikian, integrasi NIK-NPWP belum terjadi. Yang terjadi baru sebatas substitusi. Jangan samakan keduanya, atau yang lebih parah, menganggap substitusi sebagai integrasi, kemudian menyebarluaskannya. Rumuskan dahulu-lah peraturan pemerintahnya. Toh ini sudah setahun sejak UU HPP disahkan. (Bsi)
KOMENTAR
Silahkan berikan komentar dengan baikTulis Komentar Anda :