ANIES Rasyid Baswedan punya kesempatan memulai tradisi membayar pajak atas penggunaan dana politik di Indonesia. Ia juga harus berani membuka Surat Pemberitahuan (SPT), seperti yang dilakukan semua Presiden Amerika Serikat saat kampanye, yang tentu diketahuinya.
Penegasan ini perlu kami sampaikan, mengingat sepekan terakhir ini publik dihebohkan kasus utang-piutang Anies dan Sandiaga S. Uno saat keduanya berpasangan dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017. Kasus ini juga melibatkan politisi Partai Golkar Aksa Mahmud dan Erwin Aksa.
Informasi itu awalnya diungkap Erwin dalam wawancara di channel youtube Akbar Faisal Uncensored, Sabtu (4/3/2023). Isu tersebut kemudian riuh bergulir, dan sebuah dokumen surat perjanjian utang-piutang lalu viral di masyarakat.
Dalam dokumen itu diketahui Anies berutang hingga 3 kali kepada Sandi. Pinjaman pertama Rp20 miliar, kedua Rp30 miliar, dan ketiga Rp42 miliar. Total jenderal Rp92 miliar. Utang itu terjadi pada 2017 dan digunakan untuk keperluan pemenangan Pilgub DKI Jakarta.
Anies tidak membantah utang itu. Ia hanya mengoreksi bahwa pihak yang memberikan utang tersebut bukanlah Sandi, wakilnya di Pilgub DKI. Sandi hanyalah penjamin. Selain itu, utang tersebut dianggap lunas apabila pasangan Anies-Sandi memenangkan Pilgub DKI 2017.
“Dalam surat itu disampaikan, apabila kalah maka saya dan Pak Sandi berjanji mengembalikan. Tapi apabila kami menang pilkada, maka [utang] ini dinyatakan sebagai bukan utang. Itulah yang terjadi,” kata Anies, Jumat (10/2/2023).
Dengan kata lain, karena Anies menang Pilgub DKI 2017, maka utang itu pun dibebaskan. Statusnya hangus. Apakah persoalan selesai? Secara politik jelas sudah selesai. Perkara utang-piutang ini tidak perlu diperpanjang apabila tujuannya hanya untuk menjatuhkan atau menjelek-jelekkan Anies.
Surat pengakuan utang yang diteken Anies juga sangat jelas, clear. Memang utang itu statusnya hapus begitu ia menang pilkada.
Namun, dari perspektif perpajakan, perkara utang-piutang belum selesai. Di sana ada hal yang sangat mengganggu, dan itu perlu dibahas dengan tuntas.
Pengungkapan status utang yang dibebaskan itu berarti pengungkapan penghasilan. Utang yang menjadi penghasilan itu adalah objek pajak, seperti diatur Pasal 4 ayat (1) huruf k UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat UU No. 3 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh):
Apakah Anies melaporkan tambahan penghasilan sebesar Rp92 miliar itu dalam SPT 2017? Inilah yang perlu dibuka. Kalau itu terkonfirmasi, maka Anies sebagai wajib pajak orang pribadi akan terkena tarif progresif 30%, atau setara dengan Rp27,6 miliar. Kalau tidak, berarti Anies mengemplang pajak.
Dari perspektif pajak, ketika seseorang mendapat pembebasan utang maka harta yang bersangkutan otomatis bertambah, hingga penghasilannya pun bertambah. Karena itu, pembebasan utang menjadi salah satu objek Pajak Penghasilan (PPh). Inilah konsekuensi perpajakan atas bocornya status utang-piutang yang sudah dibebaskan itu.
Kita tahu Ditjen Pajak (DJP) biasa bersikap agresif kepada warga yang mengungkapkan hartanya. Fenomena di media sosial beberapa waktu lalu misalnya, ketika orang berlomba-lomba memamerkan saldo rekening mereka. DJP segera merespons hal itu dengan menanyakan kewajiban perpajakannya.
DJP dengan cepat juga menghubungi Ghazali di Semarang dan menanyakan kewajiban perpajakannya, karena ia berjualan NFT dengan uang kripto dan mendapatkan untung miliaran. Ghazali pun akhirnya kepergok membuat Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
DJP seharusnya merespons pembebasan utang Anies Rp92 miliar ini dengan cara serupa. Sebab, ini adalah pengungkapan harta yang perlu ditindaklanjuti kewajiban perpajakannya. DJP bisa melakukan telaah terlebih dahulu, apakah harta dalam SPT 2017 itu sudah lewat daluwarsa atau belum.
Perlu dilihat juga, apakah Anies mengikuti tax amnesty jilid II pada semester I/2022. Kalau ternyata tidak ikut, dan SPT 2017 milik Anies itu belum daluwarsa, Dirjen Pajak tentu bisa menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) kepada Anies.
Sebagai salah satu kandidat Presiden yang sudah resmi diusung 3 partai politik, Anies harus memberi contoh kepada masyarakat untuk patuh hukum, termasuk hukum pajak. Pajak atas pembebasan utang Rp92 miliar ini juga bisa jadi preseden baik dalam sistem politik di Indonesia, yaitu pajak dana politik.
Anies tentu bukan satu-satunya politisi yang mendapat dana politik. Hampir semua politisi mendapat dukungan itu, hanya belum terungkap. Apakah dana politik itu dibayar pajaknya? Jelas tidak, karena dana politik biasanya diserahkan secara sembunyi. Dengan kata lain, itu bentuk penghindaran pajak.
Dengan membayar pajak atas pembebasan utang Rp92 miliar itu, Anies bisa memulai tradisi baru dalam sistem perpajakan kita, yaitu membayar pajak atas dana politik. Ini bisa menjadi tradisi sangat baik, yang sekaligus memicu DJP agar lebih berani kepada politisi, bukan hanya agresif ke Ghazali saja.
Fenomena dana politik ini makin menegaskan perlunya pemerintah segera membangun Nomor Identitas Tunggal alias Single Identity Number (SIN) Pajak. SIN yang dimaksud di sini bukan hanya menggabungkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Namun, lebih substansial dari penggabungan itu, yakni pembangunan basis data pajak di balik nomor tunggal tersebut. SIN Pajak ini sangat mendesak karena fenomena utang-piutang politik ini dengan sendirinya menunjukkan betapa besarnya potensi pajak dana politik.
Selama ini, data-data terkait dengan dana politik itu hanya bisa diendus oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). SIN Pajak memungkinkan DJP mengakses data PPATK dan melakukan ekstensifikasi dengan menjadikan dana politik sebagai sumber baru penerimaan pajak.
Berapa potensi pajak dana politik? Bahtiar, Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, pernah mengatakan untuk pilkada kabupaten/kota saja, setiap pasangan calon akan menyiapkan minimum Rp25 miliar-Rp30 miliar hingga ratusan miliar. Untuk pemilihan gubernur, bisa tembus triliunan.
Ini adalah potensi baru penerimaan pajak. DJP juga harus memiliki keberanian menarget pajak dari dana politik. Namun, pajak dana politik ini baru mudah digarap jika SIN Pajak sudah dibangun. Di sinilah sebenarnya arti penting SIN Pajak, Bu Ani. (Bsi)
KOMENTAR
Silahkan berikan komentar dengan baikTulis Komentar Anda :