TAJUK PAJAK

Runtuhnya Kepercayaan terhadap DJP

Apa yang bisa dilakukan ketika pemerintah kehilangan legitimasi memungut pajak?

By | Senin, 27 Maret 2023 14:31 WIB

Dirjen Pajak Suryo Utomo saat bergaya bersama komunitas Belasting Rijder. (Foto: Istimewa)
Dirjen Pajak Suryo Utomo saat bergaya bersama komunitas Belasting Rijder. (Foto: Istimewa)

APA yang bisa dilakukan ketika pemerintah kehilangan legitimasi memungut pajak? Bisakah bersikap tak acuh dan berkata ringan, “masyarakat harus tetap bayar pajak karena itu wajib, tidak peduli suka atau tidak suka?”

Beberapa pekan ini masyarakat dihebohkan berita harta berlimpah pejabat Ditjen Pajak (DJP). Bermula dari kasus penganiayaan anak pejabat eselon III DJP terhadap anak pengurus GP Anshor karena masalah asmara.

Dari situ, ibarat kotak pandora yang dibuka, isu bergulir dari penganiayaan ke gaya hidup keluarga pejabat. Ayah pelaku penganiayaan, Rafael Alun Trisambodo, memiliki harta Rp56 miliar, tidak sesuai profil penghasilannya.




Itu pun diduga ada yang tidak dilaporkan melalui Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN). Mungkin juga termasuk Surat Pemberitahuan (SPT), karena seharusnya isi LHKPN dan SPT tidak boleh berbeda.

Mobil Rubicon Rp1,8 miliar diatasnamakan office boy penerima Bantuan Langsung Tunai. Ada deposit box Rp37 miliar dalam mata uang asing, hingga transaksi mencurigakan Rp500 miliar yang melibatkan 40 rekening afiliasi.

Alun diduga terlibat tindak pidana pencucian uang. Setelah menyatakan akan mundur, meski sudah lolos seleksi eselon II, ia dipecat sebagai aparatur sipil negara dan saat ini diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).



Belum selesai kasus Alun, muncul lagi pejabat Kemenkeu bergaya hidup mewah, yaitu Kepala Bea Cukai Yogya dan Makassar. Satunya memamerkan motor gede, satunya baju seharga Rp22 juta dan sandal jepit Rp2,5 juta.

Menkeu Sri Mulyani pun mengecam gaya hidup anak buahnya itu. Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto pun dicopot. Dirjen Pajak Suryo Utomo juga tiba-tiba ikut mengecam gaya hidup mewah jajarannya tersebut.

Hanya, kecaman gaya hidup mewah ini menjadi plot-twist, karena terungkap DJP memiliki komunitas motor gede sendiri bernama Belasting Rijder. Bahkan, Menkeu Sri Mulyani sendiri juga memiliki motor gede.

Akhirnya, foto Dirjen Pajak Suryo Utomo bergaya mengendarai motor gede dalam satu acara Belasting Rijder pun viral. Respons Menkeu: Bubarkan Belasting Rijder! Sayangnya, masyarakat telanjur skeptis.

Benarkah Kemenkeu tidak tahu banyak pejabatnya bergelimang harta? Apalagi muncul informasi: 964 pegawai Kemenkeu memiliki harta tidak wajar, dengan nilai transaksi mencurigakan Rp349 triliun pada 2007-2023.

Bagi masyarakat, pamer harta para pejabat Kemenkeu ini menyakitkan, sebab para pembayar pajak bukan cuma orang kaya seperti pejabat Kemenkeu, melainkan juga warga umumnya yang berpenghasilan pas-pasan.

Ini mulai dari pekerja yang gajinya dipotong PPh 21, UMKM yang dikenai PPh final 0,5%, dan warga miskin yang musti bayar PPN. Jika uang pajak membuat pejabat bergelimang harta, apa arti bayar pajak bagi warga miskin?

Karena itu, wajar muncul kampanye stop bayar pajak. Berbagai  sindiran atau ajakan tidak membayar pajak bertebaran. Ada video viral yang menunjukkan beberapa anak muda menempelkan selebaran Stop Bayar Pajak.

Mantan Ketua Umum PBNU Said Aqil bahkan mengingatkan lagi hasil Munas Ulama NU pada 2012. “Kalau uang pajak diselewengkan, NU akan ambil sikap tegas: Warga NU tidak usah bayar pajak,” katanya.

Atas menguatnya kampanye stop bayar pajak itu, kami berpendapat: Pertama, pemerintah harus sadar bahwa memungut pajak itu butuh legitimasi, yaitu dana pajak tersebut tidak diselewengkan.

Itu legitimasi terkuat bagi pemerintah untuk memungut pajak. Pajak dalam konsepsi modern bukanlah upeti dari hamba sahaya kepada penguasa feodal, melainkan bentuk partisipasi warga mendanai negaranya.

Rakyat berhak tahu ke mana uang pajak dibelanjakan, berapa dihabiskan untuk gaji pegawai, berapa untuk biaya menginap di hotel, dan berapa untuk bayar buzzer.

Kampanye stop bayar pajak dengan demikian bukan cuma kesadaran membayar pajak atau isu penerimaan pajak, melainkan menyinggung isu lebih esensial, yaitu ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintah.

Kedua, saatnya Presiden meninjau kembali ‘insentif’ pengumpulan pajak. Menurut Perpres 37/2015 yang direvisi Perpres 96/2017, pegawai DJP meraih tunjangan kinerja (tukin) tertinggi dari seluruh kementerian.

Mulai Eselon 1 Rp117,3 juta per bulan sampai Pelaksana Rp5,3 juta per bulan. Tukin ini 4 kali lebih tinggi dari tukin kementerian lain, misalnya Kementerian Agama, tertinggi Rp29 juta dan terendah Rp1,9 juta.

Dalam catatan kami, tukin ini punya histori dan konteksnya tersendiri. Ketika itu pada 2015, Presiden menuntut DJP meningkatkan penerimaan pajak sebesar Rp400 triliun dari capaian 2014.

Tahun itu, pemerintah akhirnya menetapkan target pajak 2015 sebesar Rp1.294,25 triliun di APBN-P 2015, naik 39% dari realisasi penerimaan pajak 2014 sebesar Rp895 triliun.

Tukin tinggi DJP lahir dalam konteks mengejar target yang sangat berat itu. Dirjen Pajak saat itu, Sigit Priadi Pramudito, memutuskan mundur setelah menyadari hanya bisa mencapai 82% dari target 2015.

Kini, konteks Perpres 37/2015 itu jauh berubah. Pada 2023 pemerintah menargetkan penerimaan pajak Rp1.718 triliun, hanya naik 0,07% dari realisasi 2022 sebesar Rp1.716,8 triliun.

Dengan kenaikan target 0,07%, masih layakkan tukin DJP di Perpres 37/2015 dipertahankan? Bagi kami, bukan hanya tidak layak, tukin ini tidak masuk akal. Tukin ini sama saja dengan pemborosan.

Tukin ini perlu disorot karena menjadi salah satu penyebab berlimpahnya harta pegawai pajak. Dahulu tukin ini bisa dipahami karena target tinggi. Tapi setelah target melandai, tukin itu tidak perlu dipertahankan.

Presiden harus mencabut perpres itu dan mengembalikan tukin DJP seperti kementerian lain. Tidak ada manfaatnya menetapkan tukin tinggi kalau penerimaannya bisa dicapai hanya dengan duduk manis di kantor.

Ketiga, pamer harta kekayaan oleh keluarga fiskus yang kita saksikan ini tidak lain akibat dari pembiaran atas ketidakseimbangan pelaksanaan sistem pemungutan pajak self-assesstment.

UU No. 28 Tahun 2007 yang mencoba menyeimbangkan pelaksanaan sistem itu malah tidak dilaksanakan. Sebaliknya, yang dilaksanakan terus-menerus dan nyaris berkelanjutan adalah insentif untuk wajib pajak.

Bandul keseimbangan yang sudah digeser ke kanan (wajib pajak) melalui UU itu, malah terus digoyang dan dipertahankan ke kanan (wajib pajak) dan bukan ke tengah ke arah kiri (negara).

Akibatnya, pengawasan fiskus dan wajib pajak yang bisa ditempuh Pasal 35A (SIN Pajak) dibiarkan, sementara pemberian insentif melalui Pasal 37A digencarkan, mulai dari sunset policy sampai tax amnesty jilid II.

Inilah yang membentuk wajah perpajakan kita sekarang: Banyak insentif, miskin pengawasan. Itulah yang menyebabkan fenomena Rafael Alun Trisambodo dan seterusnya.

Pembiaran ini pula yang seharusnya dipertanggungjawabkan oleh Menteri Keuangan. Peristiwa ini masih akan terus terjadi, dan menjadi bom waktu, sebetapapun banyak buzzer dibayar dan dikumpulkan. (Bsi)



KOMENTAR

Silahkan berikan komentar dengan baik

Tulis Komentar Anda :