Bisakah Pemerintah Dipercaya Menjaga Rahasia Pajak?
JUDUL di atas adalah pertanyaan sederhana. Namun, perlu diajukan kembali di tengah keriuhan transaksi mencurigakan Rp349 triliun di Kementerian Keuangan yang tak kunjung berakhir. Semua bermula dari Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan yang dipercaya Presiden Joko Widodo.
Dalam konferensi persnya Senin (20/3/2023), Sri menyebut ada 2 wajib pajak yang memiliki transaksi mencurigakan, yaitu SB dan DY. Ia mengungkap data SB dan DY di Surat Pemberitahuan (SPT) berbeda dengan hasil analisis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Di SPT, SB melaporkan omzet Rp9,88 triliun, di PPATK cuma Rp8,24 triliun. Perbedaan juga terjadi pada omzet PT BSI yang sahamnya dimiliki SB. Di SPT, SB melaporkan transaksi saham pada 2017-2019 sebesar Rp11,56 triliun. Namun, di PPATK, transaksi saham PT SBI Rp11,77 triiun.
“Jadi perbedaannya Rp212 miliar. Itu pun tetap dikejar, dan kalau buktinya nyata, maka si perusahaan harus membayar, plus denda 100%,” katanya seraya menyebut SB juga memiliki saham di perusahaan PT IKS dengan transaksi 2018-2019 sebesar Rp4,8 triliun, tetapi hanya dilaporkan Rp3,5 triliun.
Wajib pajak lain yang juga disebut Sri adalah yang berinisial DY. Sri mengungkap dalam SPT-nya, DY melaporkan memiliki harta Rp38 miliar. Namun, temuan PPATK menunjukkan DY melakukan transaksi Rp8 triliun. Apa yang salah dari pengungkapan Menkeu tersebut?
Menkeu tentu seharusnya tahu apa yang salah. Apakah wajib pajak berinisial SB dan DY sedang menghadapi pemeriksaan keuangan? Apakah mereka berstatus tersangka yang tengah menghadapi penuntutan pajak? Jika tidak, lalu apa hak Menkeu mengungkap data tersebut?
Perlu disadari logika mendasar, data SPT bukanlah milik pemerintah, apalagi Kemenkeu atau Ditjen Pajak (DJP). Kami tegaskan lagi, data SPT bukan milik pemerintah. Agen pemerintah yang menerima data itu wajib melindunginya. Di situlah kemudian pemerintah bekerja memenuhi fungsinya.
Kami masih ingat bagaimana pada 2008, Dirjen Pajak Darmin Nasution terlibat konflik serius dengan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution karena Darmin menolak saat auditor BPK meminta akses terhadap SPT. Konflik itu lalu bergulir ke Mahkamah Konstitusi, yang memenangkan Darmin.
Dalam konferensi pers di KPP Pratama Jagakarsa, Jl, T.B. Simatupang, Jakarta Selatan, Darmin menegaskan penolakan DJP untuk memberikan akses kepada auditor BPK itu karena data SPT bukan milik pemerintah. “Data di SPT itu milik dia [wajib pajak]!” katanya ketika itu.
Wajib pajak memang menyerahkan data-data terkait dengan transaksi keuangan mereka ke pemerintah agar kewajiban pajaknya dapat dihitung. Namun, data itu sama sekali bukan milik pemerintah. Data itu tetap milik wajib pajak. Pemerintah sekadar dititipi.
Pemerintah harus merahasiakan data di dalam SPT itu, dan membukanya hanya jika wajib pajak bersangkutan menghadapi penyidikan, tuntutan pidana, atau pemeriksaan lain. Itu pun tidak secara terbuka ke publik melalui konferensi pers, melainkan hanya ke pejabat terkait yang melakukan pemeriksaan.
Aspek kerahasiaan ini dicantumkan secara jelas di Pasal 34 UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). Silakan baca pelan-pelan Pasal 34 ini, dan simpulkan sendiri, apakah menyampaikan inisial wajib pajak berikut nilai omzetnya bisa menjadi delik bagi Sri Mulyani untuk terkena jerat pidana.
Pasal 34:
(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh wajib pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Penjelasan Pasal 34:
(1) Setiap pejabat, baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan dilarang mengungkapkan kerahasiaan wajib pajak yang menyangkut masalah perpajakan, antara lain:
a. Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan lain-lain yang dilaporkan oleh wajib pajak;
b. data yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan:
c. dokumen dan/atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia;
d. dokumen dan/atau rahasia wajib pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkenaan.
Lalu apa sanksi pelanggaran Pasal 34 ini? Lihat Pasal 41:
(1) Pejabat yang karena kealpaanya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp25 juta.
(2) Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp50 juta.
(3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.
Rumusan Pasal 34 ini sangat jelas. Pembukaan SPT bisa dilakukan hanya demi kepentingan pro-justisia atau kepada pejabat yang melakukan pemeriksaan. Tidak ada ketentuan yang membolehkan data SPT dibuka ke publik seperti dilakukan Menkeu melalui konferensi pers.
Menkopolhukam Mahfud MD, yang hadir dalam konferensi pers Senin itu lucunya lebih sadar akan ketentuan UU KUP. Padahal, dia bukan orang pajak. “Saya enggak sebut nama, yang menyebut inisial bukan saya, [melainkan] Bu Sri Mulyani tadi. Itu salahnya di situ,” katanya, Rabu (29/3/2023).
Lebih lucu lagi, sepekan berikutnya (27/3/2023), Menkeu mengaku menyebutkan informasi di dalam SPT itu agar Mahfud MD lebih memahami maksud dan penjelasannya. “Waktu itu untuk menjelaskan baik ke Pak Mahfud.., kami memutuskan membuat perbandingan omzet dan SPT, untuk memberikan suatu ilustrasi,” katanya.
Olala.. simpan saja dalih itu, Bu Sri. Kami tidak butuh itu dan jelas tidak sependapat. Sebab menurut kami, simply di sini telah terjadi breach of trust, pelanggaran kepercayaan, atas jaminan kerahasiaan data wajib pajak yang diamanatkan oleh Pasal 34 UU KUP.
Pemerintah harus sadar data SPT itu milik wajib pajak, bukan milik pemerintah. Pengungkapan data tersebut hanya dapat dilakukan dalam kerangka penyidikan atau pro-justisia. Pengungkapan data SPT atas wajib pajak yang belum jelas statusnya juga tidak memberikan manfaat apapun.
Bagaimana bila keriuhan transaksi yang diduga kuat TPPU ini berakhir antiklimaks? Alias tidak ada satu pun tersangka? Bagaimana bila tersangkanya bukan SB atau DY, melainkan orang lain? Apakah SB dan DY harus pasrah data SPT-nya dibuka oleh Menkeu demi kepentingan ilustrasi? Atau melawan dan menuntutnya? (Bsi)
KOMENTAR
Silahkan berikan komentar dengan baikTulis Komentar Anda :