ANALISIS

Ketika Tax Ratio RI Lebih Rendah dari Negara Afrika

Rata-rata tax ratio negara Afrika 16,6%, sedangkan tax ratio RI hanya 8%.

By | Selasa, 20 September 2022 22:07 WIB

Warga mengisi formulir SPT di kantor pajak (Foto ilustrasi).
Warga mengisi formulir SPT di kantor pajak (Foto ilustrasi).

JAKARTA, BELASTING -- Sulit membayangkan bahwa Indonesia bisa kalah dalam soal pembangunan ekonomi dari negara-negara Afrika.

Tapi itulah yang terjadi, setidaknya dalam hal tax ratio.

Pada 25 Juli 2022, Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (Organization for Economic  Cooperation and Development/ OECD) merilis hasil riset mereka tentang tax ratio berjudul Revenue Statistics in Asia and Pacific 2022.




Hasilnya, dari 28 negara di kawasan Asia Pasifik, tax ratio Indonesia berada di urutan ketiga terendah, sebesar 10,1% pada 2020.

Indonesia cuma lebih tinggi dari Bhutan dan Laos, yang masing-masing mencatat tax ratio 8,9%.

OECD menghitung rata-rata tax ratio Asia Pasifik sudah mencapai 19,1% pada 2020, alias dua kali lipat lebih di atas tax ratio RI.



Bahkan menurut OECD, rata-rata tax ratio negara Afrika sudah mencapai 16,6%.

Antara lain Uganda (12.1%) Ghana (13,5%), Senegal (16,6%) dan yang tertinggi Afrika Selatan (26,2%),

Tax ratio RI kalah dibandingan negara-negara Afrika tersebut,

Sedangkan bila dibandingan dengan ASEAN, RI sudah tertinggal jauh dari Vietnam, yang sudah mencapai angka 20% lebih.

Vietnam memiliki tax ratio tertinggi di kawasan ASEAN.

Tax Ratio Negara ASEAN 2020

Vietnam 22.7%
Kamboja 20,2%
Thailand 16,5%
Singapura 12,8%
Malaysia 11,4%
Indonesia 10,1%
Lao PDR 8,9%

Sumber: OECD 2022

Pemerintah kurang mampu memungut pajak
Mengapa itu terjadi? Banyak faktor penyebab.

Sekadar informasi, tax ratio adalah perolehan dana pajak berbanding Produk Domestik Bruto (PDB) negara itu.

Tax ratio RI 10,1% berarti penerimaan perpajakan hanya 10,1% dari PDB tahun itu.

Angka 10,1% jelas sangat kecil.

Tidak perlulah menggunakan standar negara Eropa, yang rata-rata tax rationya mencapai 33%.

Indonesia seharusnya minimum bisa mengejar rata-rata kawasan Asia Pasifik yang sebesar 19%.

Bahkan angka 10,,1% dari OECD itu juga terlalu optimis.

Sebab menurut perhitungan Kemenkeu sendiri, tax ratio RI pada 2020 sebenarnya hanya 8,33%. Alias hanya single digit.

Tapi bukan hanya kecilnya tax ratio RI yang jadi persoalan. Masalah yang lebih krusial lagi adalah tax ratio RI cenderung turun.

Indonesia misalnya pernah mengalami tax ratio hingga 12,6% pada 2005. Tapi pada tahun-tahun berikutnya tax ratio terus turun.

Apa artinya tax ratio turun?

Artinya jelas. PDB terus tumbuh, tapi kemampuan pemerintah memungut pajak tidak bisa mengimbangi laju kecepatan PDB.

Dengan kata lain, pemerintah memang kurang mampu memungut pajak dari rakyatnya sendiri. Kemampuannya terbatas.

Rendahnya Basis Pajak
Salah satu masalah pokok adalah rendahnya basis data pajak.

Berdasarkan Survey Ketenagakerjaan Nasional 2021 oleh BPS, jumlah penduduk Indonesia yang bekerja mencapai 131 juta jiwa.

Dari total itu, berapa yang membayar pajak?

Bila dihitung dari jumlah penduduk yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), maka jumlahnya sangat sedikit.

Menurut perhitungan DItjen Pajak (DJP), saat ini jumlah pemilik NPWP baru sekitar 45 juta orang.

Ini artinya, masih banyak warga yang lolos dari membayar pajak, terutama Pajak Penghasilan (PPh).

Dirjen Pajak Suryo Utomo juga mengakui masalah ini dan berharap integrasi antara Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan NPWP akan membuat basis data pajak lebih luas.

"Langkah menjadikan NIK sebagai NPWP merupakan upaya untuk meningkatkan basis data perpajakan," katanya, Senin, 6 Juni 2022.

Pengusaha Kakap Banyak Lolos
Masalah lain adalah rendahnya kepatuhan pajak di kalangan pengusaha, apalagi pengusaha kaya.

Sekadar informasi, para pekerja formal di Indonesia membayar PPh melalui perusahaan, biasanya langsung potong gaji.

Ini dikenal sebagai PPh 21 karyawan.

Model pembayaran PPh seperti ini efektif, karena sangat sedikit para karyawan atau buruh yang lolos dari membayar pajak.

Sebaliknya, para pengusaha membayar pajak tidak dengan model potong gaji (karena tidak mungkin), melainkan langsung ke Ditjen Pajak (DJP).

Ini dikenal sebagai PPh 25/29 Orang Pribadi non-karyawan.

Setiap tahun, penerimaan dari PPh 25/29  Orang Pribadi ini selalu menjadi masalah ketidakadilan.

Sebab para pengusaha kaya ini membayar pajak sangat sedikit.

Pada 2021 misalnya, setoran pajak PPh 21 karyawan mencapai Rp140 triliun.

Sebaliknya, setoran pajak dari PPh 25/29 hanya Rp11,56 triliun.

Sumber: APBN Kita edisi 2021

Padahal berdasarkan riset firma keuangan asal Prancis, Capgemini, pada 2018 Indonesia tercatat memiliki 124.090 miliarder.

Para miliarder ini diistilahkan High Net Worth Individual (HNWI) dengan batasan kriteria memiliki aset liquid minimum US$ 1 juta dolar atau setara Rp14,7 miliar (asumsi kurs Rp14.700).

Aset liquid adalah aset yang bisa diuangkan dalam waktu cepat, misalnya portfolio saham.

Bila diasumsikan kekayaan mereka minimum Rp5 miliar saja, lalu dikenai tarif PPh bracket teratas sebesar 35% atau setara Rp1,75 miliar. berarti potensi pajaknya adalah Rp217,15 triliun (124.090 x Rp1,75 miliar).

Tapi itu teori.

Realitasnya, setoran pajak PPh 25/29 pada 2021 hanya Rp11,56 triliun.

Mengapa bisa terjadi ketidakadilan seperti itu?

Bhima Yudhistira, ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) menjelaskan bahwa kelas super kaya ini mampu melakukan transaksi antar-negara.

Mereka misalnya bisa mendirikan perusahaan cangkang di Cayman Island, menyewa jasa konsultan untuk menyembunyikan harta, dan berbagai rekayasa finansial lain.

“Bisa saja penghasilannya di atas Rp5 miliar per tahun, tapi dia alihkan ke negara lain atau pelaporan pajaknya tidak jelas,” katanya.

Inilah realitas pahit ketimpangan pembayaran pajak negeri ini.

Para pekerja sektor formal, buruh, lebih taat membayar pajak daripada para pengusaha.

Pengungkapan jujur soal ketimpangan ini juga pernah disampaikan konglomerat Chairul Tanjung dalam wawancara dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani, 19 Juli 2022 lalu.

"Kita tahu ada pengusaha-pengusaha yang nggak dikenal orang, usahanya juga nggak pernah diketahui. Tapi saya tahu persis karena saya perbankan. Uangnya ratusan miliar dan triliunan. Uang saya, dan uang dia, banyakan uang dia. Tapi mereka ini belm tersentuh pajak," kata pengusaha yang akrab dipanggil CT itu.

Dengan berbagai masalah seperti ini, wajar bila tax ratio RI terus terpuruk.

Ketika Basis Pajak Rendah, PPN jadi Tumbal
Ketidakmampuan pemerintah memungut Pajak Penghasilan (PPh), apalagi dari orang-orang kaya, akhirnya juga berdampak ke warga miskin.

Ini karena untuk meningkatkan penerimaan pajak, pemerintah memilih menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) per 1 April 2022 lalu.

Banyak ekonom mengkritik kebijakan itu.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Heri Firdaus, misalnya menganalogikan kebijakan itu seperti pemerintah "tidak mampu berburu di hutan liar, akhirnya memilih berburu di kebun binatang".

Mengapa analogi seperti itu?

Kita tahu bahwa hewan di kebun binatang dikerangkeng, tidak bebas berkeliaran. Jadi pemerintah tinggal bawa senapan ke depan kerangkeng, tembak, dan hewan pun mati. Pajak didapat.

Ini karena PPN adalah pajak atas barang.

Tiap kali orang membeli barang tersebut, pajak otomatis didapat. Jadi, mengumpulkan pajak pun mudah.

Hampir semua barang di minimarket (Alfamart dan Indomaret) misalnya kena PPN.

Ini berbeda dari "berburu di hutan rimba" berupa membangun basis pajak yang lebih luas. Tantangannya lebih berat.

Namun kenaikan PPN berdampak pada kenaikan harga-harga. Dan beban itu kini juga harus ditanggung warga miskin. Mereka jadi membayar pajak lebih mahal hanya karena pemerintah tidak mampu memungut pajak dari orang kaya.

"Jadi seharusnya dicoba dulu bagaimana memperluas tax base melalui perluasan basis pajak dan sebagainya. Jadi berburunya di hutan liar dulu, kalau sudah habis baru di kebun binatang," kata Heri.

Prospek Suram Tax Ratio 2023
Pada Juli 2022 lalu, pemerintah dan DPR menyepakati target tax ratio sebesar 9,3% hingga 10% pada 2023.

Tapi target itu hampir mustahil tercapai.

Pasalnya sebulan setelah kesepakatan di DPR itu, dalam konferensi pers Nota Keuangan 16 Agustus 2022, Menkeu Sri Mulyani menyodorkan outlook bahwa tax ratio RI pada 2023 diperkirakan sebesar 8,17%.

Outlook tax ratio 2023 itu lebih rendah dibanding outlook tax ratio 2022 yang diperkirakan akan sebesar 8,35%,

Dengan kata lain, tren penurunan tax ratio terus berlanjut.

Ketika tax ratio terus turun, sementara kebutuhan belanja negara makin besar, apalagi yang bisa dilakukan?

Menambah utang? Menaikkan lagi PPN? Membuka lagi program tax amnesti jilid berikutnya?

Ada banyak opsi tentu, tapi tidak satu pun yang menyenangkan. Inilah risiko yang harus dihadapi ketika tax ratio terus turun.

Tax Ratio RI Lima Tahun Terakhir (2017-2021)

2017 9,89%
2018 10,24%
2019 9,77%
2020 8,33%
2021 9,11%
2022 (Outlook) 8,35%
2023 (Outlook) 8,17%

Sumber: Kemenkeu

(bsf).



KOMENTAR

Silahkan berikan komentar dengan baik

Tulis Komentar Anda :