PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN

Kewenangan Dirjen Pajak Memeriksa Bukti Permulaan Digugat ke MK

Kewenangan itu dinilai mengaburkan tahap penyelidikan dan penyidikan.

By | Jum'at, 01 September 2023 14:03 WIB

Sidang di Mahkamah Konstitusi (Foto ilustrasi/ist).
Sidang di Mahkamah Konstitusi (Foto ilustrasi/ist).

JAKARTA, BELASTING -- Kewenangan Ditjen Pajak melakukan pemeriksaan bukti permulaan saat ini tengah digugat di Mahkamah Konstitusi (MK).

Gugatan ini bernomor 83/PUU-XX1/2023 dan sidang perdana dilakukan Senin, 28 Agustus 2023 lalu, demikian dilansir dari website resmi MK

Adapun pasal yang digugat ke MK adalah pasal yang memberi kewenangan  pada Diren Pajak untuk melakukan pemeriksaan bukti permulaan.




Pasal itu adalah pasal 43A ayat (1) dan (4) UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Bunyi pasal itu sebagai berikut:

43A
(1) Direktur Jenderal Pajak berdasarkan informasi,, data, laporan, dan pengaduan, berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
(4) Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada yat (1) dan (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

 



Dalam berkas gugatan yang diperoleh Belasting, dua pasal itu dinilai bertentangan dengan UUD 1945 pasal 1 ayat (3) yang berbunyi "Indonesia adalah negara hukum", juga bertentangan dengan pasal 28 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yng sama di hadapan hukum."

Mengapa pasal kewenangan Dirjan Pajak itu digugat? Apa masalahnya?

Mengaburkan Penyelidikan dan Penyidikan
Dalam sidang pendahuluan, kuasa hukum penggugat, Cuaca Teger SH, menjelaskan bahwa pada intinya pasal yang digugat itu mengaburkan antara tahap penyelidikan dan penyidikan.

Ini karena kewenangan dalam pemeriksaan bukti permulaan itu hampir seluruhnya bersifat memaksa kepada pihak lain. Misalnya kewenangan untuk menyegel, menggeledah.

Padahal, aspek memaksa itu hanya ada di tahap penyidikan, bukan penyelidikan.

Sifat memaksa itu juga terlihat dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang merupakan aturan pelaksana dari pasal 43A ayat (4), yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 177/PMK.03/2022 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.

PMK itu memberi kewenangan yang bersifat memaksa pihak lain kepada Dirjen Pajak meski berada di tahap penyelidikan.

Selain itu, wajib pajak juga tidak bisa menggugat surat-surat yang dikeluarkan Ditjen Pajak (DJP) selama proses pemeriksaan bukti permulaan, karena dikecualikan dari kompetensi PTUN.


Pokok Gugatan
Atas permasalahan itu, kuasa hukum pemohon meminta agar majelis hakim MK menyatakan Pasal 43A ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, dari frasa “pemeriksaan bukti permulaan sebelum penyidikan” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “pemeriksaan bukti permulaan yang merupakan bagian penyidikan.”.

Bila poin gugatan dikabulkan, konseuensinya DJP ketika melakukan pemeriksaan bukti permulaan, tidak bisa lagi beralasan sedang berada di tahap penyelidikan, melainkan sudah memasuki tahap penyidikan, hingga juga harus mengikuti ketentuan penyidikan: misalnya sudah jelas apa tindak pidana yang disangkakan kepada wajib pajak.

Pokok permohonan kedua adalah agar Pasal 43A ayat (4) UU HPP, dari frasa “Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai “hanya berkenaan dengan hal-hal yang bersifat teknis-administratif dan bukan pembatasan dan/atau perluasan hak dan kewajiban warga negara”.

Bila poin ini dikabulkan, artinya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur tata cara pemeriksaan bukti permulaan tidak bisa lagi memberikan hak atau kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk memaksa pihak lain, karena itu sudah melampaui wewenang tahap penyelidikan.

PMK tentang tata cara pemeriksaan bukti permulaan hanya bisa mengatur sal teknis administratif, tidak memperluas wewenang.

Gugatan ini diajukan oleh seorang wajib pajak bernama Surianingsih yang berdomisili di kabupaten Karo, Sumatra Utara.

Setelah sidang perdana pada 28 Agustus 2023 lalu, sidang kedua dijadwalkan pada 11 September 2023. (bsf)



KOMENTAR

Silahkan berikan komentar dengan baik

Tulis Komentar Anda :